Bab 9

226 11 0
                                    

Lies

You never really told me and I never thought to ask you why

Begitu Jana memasuki kantor pagi ini, hal pertama yang dia sadari adalah aroma yang berbeda. Dia mencium aroma bunga-bungaan yang sangat kuat, bukan citrus seperti biasanya.

"Ada yang meninggal apa, kok kantor baunya kayak kuburan begini?" canda Jana pada Monique, resepsionis kantor.

"Oh, nggak, Bu. Sejam yang lalu ada yang nganter bunga banyak banget ke Mbak Caca." "Caca? Bukannya itu sekertaris kamu, Jan?" Tanya Obar, salah satu arsitek senior yang juga bekerja untuk Papi, yang kebetulan sampai kantor bersamaan dengannya.

Jana mengangguk, menanggapi pertanyaan itu.

"I guess someone has a very romantic boyfriend," ucap Obar sambil tersenyum dan berlalu menuju ruangannya.

Jana hanya tertawa mendengar ini, meskipun sedikit bingung karena setahunya Caca nggak punya pacar.

Ketika dia sampai di depan ruangannya dan melihat meja Caca penuh dengan karangan bunga berbagai jenis, dia mengomentari, "Nice flowers, Ca. smells good, too," sebelum melangkah masuk keruangannya.

Dan dia harus mundur lagi karena berpikir sudah masuk ke ruangan yang salah. Dia melirik plang nama pada pintunya yang bertuliskan nama dan jabatannya, dan menoleh ke Caca, bingung. "Kenapa ada banyak banget karangan bunga di ruangan saya?"

"Oh, iya, Bu. Tadi pagi ada yang nganter seabrek. Saya udah coba tata sebanyak-banyaknya di ruangan Ibu, tapi masih banyak sisa, makannya tumpah ke meja saya."

Jana semakin bingung. Seumur hidupnya, tidak pernah ada orang yang memberikan bunga padanya. Apa dari klien? Tapi jenis karangan bunga yang sekarang menghiasi ruangannya bukan jenis yang biasa dikirimkan seseorang ke rekan bisnis, lebih seperti bunga yang dikirimkan seseorang ke pacarnya. Dengan kesadaran ini, dia langsung waswas. "Bunganya dari siapa, Ca??"

Please don't say, Ben. Please don't say, Ben. Please don't say, Ben, jana memohon dalam hati.

"Dari Pak Ben, Bu."

AMPUUUNNN DORAEMOOONNN!!! Jana berteriak dalam hati. Dia seharusnya lebih spesifik lagi waktu memberikan perintah kepada Caca tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ben. Dia sekarang yakin bahwa Ben bukan saja kreatif, tapi nekat. Entah apa yang Papi akan pikir begitu beliau lihat kantornya yang rapi, bersih, dan steril ini kini sudah kelihatan seperti toko bunga, atau lebih parah lagi... rumah duka. Oh, my God, Papi!!! Beliau nggak boleh melihat semua ini. Karena beliau pasti akan mulai bertanya-tanya siapakah yang mengirim bunga sebanyak ini? Dan dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu


tanpa harus berbohong lagi.

"Apa TO udah sampe kantor?" Tanya Jana setenang mungkin, mencoba menyembunyikan kepanikannya.

"Belum, Bu."

"Ca, tolong bantu saya ngebuang semua bunga ini." "Semuanya, Bu?" Tanya Caca ragu.

"Semuanya," tandas Jana yang tanpa menunggu reaksi Caca, langsung bergegas memasuki ruangannya dan mengambil dua karangan bunga pertama yang dilihatnya.

Setengah jam kemudian Jana baru bisa bernapas lagi setelah ruangannya dan meja Caca bersih dari rangkaian bunga. Dia meminta Caca menyemprotkan pewangi ruangan citrus sebanyak-banyaknya di sekitar kantor sampai aroma bunga-bungaan tidak tercium lagi. Puas telah menutupi jejaknya, dia duduk kembali di meja kerja dan menghembuskan napas lega. Caca berdiri di dekat tempat sampah di mana dia baru saja membuang semua rangkaian bunga milik Bu Jana. Ada sedikit kesedihan melihat semua bunga yang sudah dirangkai dengan rapi dan indah kini teronggok terabaikan. Dia tidak tahu masalah apa yang dimiliki Bu Jana dengan Pak Ben yang ditemuinya hamper dua minggu lalu di acara amal itu, tapi sepertinya masalahnya cukup serius sehingga membuat bosnya yang biasanya kalem dan sopan jadi kalang kabut dan bisa menyumpah dengan fasih.

Dirty Little Secret by AleaZaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang