"Hei, shooter payah!"
Langkahku terhenti. Suara barusan membuat telingaku gatal.
Rasanya ingin membalas, tapi sepertinya Tuhan tak mau ada pertumpahan darah di sini. Aku menoleh ke arah kumpulan orang yang bisa kubilang geng alay, berusaha memamerkan senyum dan lesung pipiku pada mereka. Cowok yang mengejekku tadi tampak mengatup mulutnya rapat-rapat, kemudian membalas senyumku.
Ya, begitulah aku. Membalas kejahatan dengan kebaikan adalah cara terbaik mencari kawan. Aku tak peduli sejahat apapun mereka, intinya aku akan terus bersikap baik. Biarlah kebaikan yang menyadarkan mereka.
Setibanya di kelas, Dona langsung menyeret kursinya mendekati mejaku. Dari raut wajahnya, aku sudah tau pertanyaan apa yang akan dilontarkan. Dan aku memilih untuk tetap rileks karena sebentar lagi, pasti semua orang akan menertawaiku.
"Gimana rasanya ditolak oleh cowok kedelapanmu?"
Huh. Pertanyaan ini lagi.
"Peduli amat, gak ada kerjaan lain selain menghitung targetku?"
"Gak ada jawaban lain ya? Kayak robot aja sih!" ocehnya sedikit kesal.
"Kamu sendiri, gak ada pertanyaan lain? Mau aku sebut robot juga?"
Yes, kali ini tertawaan itu bukan untukku. Skor kami 7-1, lumayan ada peningkatan. Tampak Dona sedikit tersipu malu dengan kata-katanya yang berhasil kubalikkan. Untung dari tadi malam aku sudah mempersiapkan semua ini dengan matang. Kalau tidak, tau sendiri bagaimana jadinya.
"Nai, gimana? Suara kak Agif masih muncul gak?!" tanya Lin tiba-tiba. Ia baru saja masuk kelas saat sedang ramai-ramainya dengan suara tawa. Aku yang sudah selesai dengan tawaku langsung mengangguk mengiyakan. Menarik seragam Lin agar ia segera duduk di sampingku. Menceritakan apa yang terjadi pagi ini.
"Nai, kayaknya kamu masih belum bisa move on dari kak Agif," simpulnya membuat tanda tanya besar di kepalaku.
"Ah masa, udah lama banget juga. Aku nembak dia kelas satu SMP loh, sekarang udah kelas dua SMA, Lin" jawabku berusaha mengelak.
"Ya ampun, Nai. Yang namanya cinta pertama itu memang sulit dilupakan. Atau jangan-jangan..." kalimat Lin berhenti, membuat tanda tanya di kepalaku makin membesar.
"Jangan-jangan apa, Lin?"
"Dia jodohmu."
***
Dia jodohku. Tidak mungkin. Jelas-jelas waktu itu, aku sudah ditolak dengannya. Dari ucapan-ucapannya pun sudah pasti benar, dia tidak menyukaiku. Apalagi ditambah kejadian waktu itu. Memalukan sekali, kurasa ia tak akan pernah mau memaafkanku.
KRIIING
Panggilan masuk.
Dari mama.
"Nai, cerminnya udah jadi, tadi mama minta perbaiki di toko. Kamu ambil ya, jangan nanti-nanti, sekarang!!" suruh mama dari ujung telpon.
"Alamatnya mana, ma?" tanyaku lesu.
"Oh iya, mama lupa, nanti mama sms ya."
Cermin diperbaiki? Ya ampun, orang tuaku memang kelewat pelit. Apa susahnya membeli cermin yang baru. Aku menggerutu kesal karena jadwal tidur siangku harus tertunda. Cepat-cepat bergegas pergi ke toko yang alamatnya tampil di layar ponsel dengan motor bebek tua kesayanganku.
Sesampainya disana, tanpa basa-basi aku langsung masuk ke toko tersebut dan bertemu dengan pemiliknya. "Pak, mau ambil cermin yang minta diperbaiki tadi" kataku santun, membuka percakapan. Bapak itu mengernyit, kemudian bangkit dari duduknya mengambil buku khusus tokonya. "Atas nama siapa?" tanyanya.
"Ibu Neli, pak"
"Gak ada," jawabnya kemudian.
Aku melongo. Segera berfikir cepat.
"Mungkin atas nama bapak saya pak Janed, atau saya sendiri Rinai, atau bapak RT dan ibu RT 9, gimana pak? Ada gak?" tanyaku dengan keringat yang bercucuran. Siap siaga mengambil ponselku hendak ingin menghubungi mama.
"Oh iya, ini ada. Ibu Neli" kata sang pemilik toko tersebut tanpa rasa bersalah. Ia tertawa kecil melihat tulisannya yang kurasa sangat jelek. Kusapu peluh di dahiku dengan perasaan lega.
Cermin berukuran besar ini sudah kupegang, terbungkus rapi dengan sampul coklat. Kini aku kebingungan, bagaimana caranya aku membawa cermin ini pulang. Aku takut terjadi apa-apa nanti, masalahnya aku baru-baru ini bisa mengendarai motor.
Untungnya, penyelamat datang. Terlihat dari kejauhan kak Agif sepertinya baru saja ingin pergi bermain futsal. Ia berjalan dengan gagahnya sambil menyandang tas olahraga di bahu kanannya. Sontak aku langsung meletakkan cermin itu di tanah hingga bersandar di motor. Lalu berlari menuju kak Agif.
"Hai kak, mau tolongin aku gak?" pintaku dengan deru napas tak menentu.
"Kakak buru-buru," jawabnya singkat sambil terus berjalan.
"Kak, tolong anterin aku bawa cermin itu ka, cerminnya gede banget" rengekku memaksa sembari menunjuk ke arah motorku berada. Kak agif tampak menoleh sejenak, tapi kemudian ia bergeleng dan pergi.
Kesal. Tidak ada rasa ingin menolong sedikit pun. Aku kembali ke tempat asalku dengan hati dan mulut yang menggerutu. Seharusnya aku tidak meminta tolong padanya tadi, sudah kutebak, pasti ia tidak mau. Aku menggenggam erat cermin itu kemudian kutaruh di bagian depan motorku. Memantapkan diri dan mencoba berani.
"Neng, nanti jatuh, mau abang bantu?" tawar seorang cowok tak dikenal yang mungkin sudah memperhatikan gerak-gerikku sejak tadi. Aku dilema, antara mau dan tidak mau. Tapi tawarannya sangat aku butuhkan sekarang.
"Bo-boleh deh bang, saya ju..."
"Nai, biar kakak aja" Kalimatku terputus, tiba-tiba saja tanpa sepengetahuanku kak Agif muncul. Mengadahkan tangan memintaku memberikan kunci motorku padanya. Aku terkejut, namun hatiku tertawa. Cowok yang menawariku tadi langsung kesal lalu pergi menjauh.
"Katanya buru-buru?!" sindirku sembari memberikan kunci.
"Kakak gak mau pak RT nanti ngamuk-ngamuk kalau anaknya hilang."
Aku cemberut. Huh, alasan klasik. Tapi memang benar sih, banyak kasus-kasus kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini. Kak Agif menyalakan mesin motorku. Sialnya mengapa suara mesinnya terdengar seperti gonggongan anjing, membuatku malu saja.
"Ajak ke bengkel kali-kali motornya! Jangan ke salon mulu," gerutunya membuatku makin malu, cepat-cepat kududuk di belakangnya dengan cermin yang kuletakkan di tengah-tengah. Tak ingin menampakkan muka merah meronaku di depannya.
Kami pun jalan.