Tuhan. Terima kasih. Sudah lama sekali aku tidak sedekat ini dengannya. Aku akan mengabadikan momen ini sebaik mungkin dan menjadi momen bersejarah dalam hidupku.
Sayangnya, karena cermin yang terlalu besar. Aku jadi tidak bisa melihat punggungnya, kucoba menggeser-geser cermin ini kesamping agar punggungnya terlihat. Namun yang ada aku malah ikut terbawa arus angin dan nyaris saja terjengkang ke belakang. Untungnya Tuhan masih menyelamatkanku. Dia memang pembalap, kutebak jarum speedometer-nya menunjuk ke angka yang belum pernah kusentuh.
Terhitung perjalanan dari toko ke rumahku hanya ditempuh dalam waktu 10 menit, menghemat 15 menit. Hebat. Baru kusadari, ternyata ia masih hapal alamat rumahku. Padahal sudah berapa tahun ia tidak pernah berkunjung, ya walaupun dulu dia adalah teman masa kecilku.
“Makasih kak,” ucapku tersenyum sumringah di hadapannya.
“Nanti aja makasihnya, cepat antar kakak ke lapangan futsal, udah telat nih!”
Ya ampun. Aku lupa. Cepat-cepat aku masuk rumah, meletakkan cermin dan kembali lagi. Kemudian kami pun berangkat. Kali ini tidak ada penghalang, aku bisa melihat punggung kak Agif bahkan semuanya dari belakang dengan jelas.
Beberapa menit kemudian kami pun sampai. Aku bersegera turun dari motor begitu juga kak Agif. Karena canggung, aku melihat sejenak ke arah lapangan futsal yang ramai akan cowok-cowok bertelanjang dada sedang asyik mengoper bola kesana-kemari.
“Udah sana pulang, jangan lama-lama di sini!” suruhnya menyadarkanku yang sempat melamun. Aku terkesiap, menatap muram kak Agif yang hendak pergi.
“Kak, maafin aku ya, atas kejadian yang waktu itu” kataku tiba-tiba, membuatnya menoleh ke arahku.
“Jangan bahas masa lalu.”
Setelah mengucapkan empat kata itu, ia pun pergi meninggalkanku yang duduk terpaku di atas motor. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku teringat semua kejadian di masa lalu. Hari dimana aku mengungkapkan perasaanku pada kak Agif, dan aku ditolak, karena jawabannya yang membuatku kesal dan tidak terima. Aku tega mendorongnya ke kolam air mancur yang saat itu sedang banyak pengunjung berdatangan. Bukannya menolong dan meminta maaf, aku malah kabur lari secepat kilat dan menangis. Setelah hari itu, aku tidak bertemu kak Agif selama seminggu. Ia absen di kelas tanpa sebab.
Aku menepuk-nepuk pelan keningku menyadari kebodohan yang telah kuperbuat, mengapa baru kali ini aku berani meminta maaf padanya.
***
Kutatap beberapa saat cermin yang sudah kugantung di tempat semula. Asyik memperhatikan bagian-bagian dari wajahku. Kening yang sempit, alis yang tipis dengan lekukan halus dan lancip di ujungnya, bulu mata pendek dan jarang, hidung monokurobo alias setengah mancung, bibir merah delima dan lesung pipi yang dalam. Kurasa tidak begitu buruklah wajahku. Tapi mengapa, lelaki tak ada yang mau denganku.
Buku diari kubuka. Kulihat daftar nama-nama cowok yang menjadi targetku. Bahkan si Yosa, anak SMA lain pun juga menolakku, padahal susah payah aku mengatur jadwal untuk bertemu dengannya waktu itu. Usahaku sia-sia.
Kadang aku bertanya, apakah aku sedang menjalani kutukan? Jika memang iya, yang mengutukku pasti kak Agif. Karena dialah lelaki pertama yang kuperlakukan tidak baik.
Pintu terbuka, tampak dua kepala menyembul dari balik pintu. Aku segera berlari ke ranjang, malu jika ketahuan sedang berdiri mematung galau tak jelas di cermin.
“Wah, Nai, cerminnya udah bagus lagi” kata mama setengah teriak sembari masuk begitu juga papa yang mengangguk setuju mengintil di belakang. “Pa, ma, di depan pintu kan ada tulisan ketuk dulu baru masuk,” omelku sedikit risih.
“Ah kamu ini, sama papa dan mama aja gitu” sanggah papa ngeyel.
“Kamu kenapa sih nak? Muram gini, pasti masalah remaja ya?” tebak mama asal tapi tepat sekali. Tanpa sadar aku mengangguk, sudah tidak tahan lagi rasanya memendam masalah sendirian. Aku butuh pelukan mama.
“Kamu tau nak, sesuatu yang kita cari secara paksa dan teledor itu akan sulit untuk mendapatkannya, kalau pun ada, pasti itu bukan yang kita inginkan. Dan jika kita sabar dan tidak gegabah dalam mengatur keinginan, sesuatu itu pasti akan kita dapatkan, bahkan datang sendiri.”
“Pasti nak, kamu hanya perlu memperbaiki diri. Berhentilah mencari,” tambah papa dengan senyum lebar dan kaca matanya yang turun, mengelus lembut rambutku. Aku salah sangka, ternyata mereka begitu memperhatikanku.