Chapter IV

87 14 3
                                    


Aku menghela nafas sejenak, kata perpisahan merupakan hal yang paling menyakitkan. Ya sangat menyakitkan, sampai-sampai hati ini hanya Seperti ruangan luas tanpa ada barang-barang yang memadatinya. Begitu hampa.

Setelah Sehun menghilang hari itu, Wendy serta Yeri melangkah kearahku. Raut dua gadis itu menyiratkan rasa kesedihan seorang sahabat yang turut merasakan penderitaan sahabatnya. Yah, aku sangat bersyukur memiliki mereka sebagai seorang sahabat terbaik.

Dan begitu mereka mengalungkan kedua lengan masing-masing pada tubuhku. Disaat itu pula aku menumpahkan segala kesakitan yang menyeruak pada relung hatiku. Mereka mengerti, bagaimana seharusnya mereka mengambil sikap dengan bungkam dan memberikanku waktu untuk menangis sore itu.

Aku mengerti sekarang, tidak semua hal akan ada didalam hidup tetapi semua hal  hanya dapat kau simpan didalam hati. Sehun, pemuda tampan itu hanya akan menjadi memori tanpa ada kemunculannya dimasa depan.

Kita berada digaris takdir yang berbeda.

Tuhan menciptakan kita dengan wujud yang jauh berbeda.

Begitu berbeda dan bertolak belakang.

Aku manusia yang terlahir dengan keegoisan, sedangkan dirimu makhluk yang dicipatkan hanya untuk patuh pada perintah Illahi.

.
.
.

Malam hari dimana kejadian menyakitkan itu terjadi, hujan turun begitu lebat dilangit Seoul. Dan disinilah, dimana seorang Seulgi kembali dalam keadaan berkabungnya. Tidak peduli jika jam yang tertempel pada dinding kamarnya, telah menunjukkan pukul 10.30 malam.

Diantara suara gemiricik hujan yang terdengar dikamar itu. Tangisan Seulgi memang tidak terdengar begitu jelas. Tetapi, percayalah jika gadis itu tengah menangis dengan begitu pilu. Ia sudah tidak peduli lagi akan bagaimana penampilannya esok hari dan akan seberapa besar bengkak dimata sipitnya. Seulgi hanya ingin semua perasaan yang sejak tadi menekan hatinya dengan kuat dapat hilang.

Seulgi masih merasakan sakit itu, rasa sakit ketika Sehun memilih untuk pergi darinya. Bahkan ucapan Sehun saat itu masih membekas dengan begitu jelas.

"Kita tidak sedang menghadapi restu orang tua Seulgi, bukan seseorang yang mampu berubah pikiran yang tengah kita hadapi. Apa kau sadar? Ucapanmu tadi sama saja kau telah menyalahkan sang pencipta dan kau pikir aku akan diam mendengarnya lalu menuruti permintaanmu itu?"

"aku malaikat dan aku diciptakan untuk selalu tunduk atas segala perintah dan aturan Yang maha kuasa."

Ya, Sehun memang malaikat. Makhluk yang ditakdirkan hanya patuh pada peraturan sang ilahi. Mereka diciptakan untuk patuh tidak untuk membantah. Sungguh miris, ketika semua orang memilih untuk memperjuangkan cintanya masing-masing tanpa menghiraukan seberapa besar rintangan yang dihadapi. Tetapi, lihatlah bagaimana Sehun dengan mudahnya memutuskan untuk mengakhiri kisah cinta yang bahkan belum secuilpun terangkai dengan indah.

Sekali lagi dia malaikat makhluk paling patuh yang pernah diciptakan.

Dan Seulgi, masih mempunyai sebuah pertanyaan dalam benaknya. Ini akan terdengar logis mungkin.

Jika memang Sehun adalah malaikat seharusnya ia tahu apa yang menjadi larangan seorang malaikat dan yang masih Seulgi tidak mengerti, mengapa ia memutuskan untuk menemui Luhan hari itu? jika akhirnyapun ia sendiri yang memilih meninggalkan Seulgi.

Oh, tentu saja hanya ada satu hal dibalik semua ini. Perasaan cinta.

Cinta, atau memang sebuah perasaan lain?

Tapi apa itu? Seulgi masih belum menemukan kata itu.

Yang jelas, cinta telah menjungkir balikkan dunia seseorang sekalipun itu malaikat.

Memories In The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang