two;

435 102 11
                                    

[Arin di cover!]

•••

Arin terhenyak, mendapat kesadaran penuh setelah berulang kali terkantuk-kantuk. Ia segera melihat keluar jendela bus lantas menghela napas lega setelah mengetahui bahwa dirinya tidak kelewatan destinasi.

Gadis itu kemudian kembali merilekskan tubuh yang sempat tegang, matanya liar melihat ke seluruh penjuru bus. Ia terbelalak kaget ketika mendapati Arka berada di bus yang sama, tertidur di bangku belakang.

Pulang dengan nomor bus yang sama, Arin tentu saja tidak pernah menyangka. Untuk beberapa detik, ia mengagumi bagaimana paras Arka yang tetap tampak keren meskipun sedang tertidur dan terkantuk akibat guncangan bus. Arin lantas cepat-cepat mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu di sana. Ia harus melaporkan perihal ini pada teman-temannya, mereka semua pasti akan iri!

Ketika ia baru saja menekan tombol kirim, seseorang menyenggol tangan Arin sehingga ponselnya dengan indah terjatuh dan terbanting ke lantai bus. Ia menatap horor pada ponsel kesayangannya itu. Ketika hendak membungkuk untuk mengambil ponsel tersebut, suara sesuatu yang patah pun lebih dulu terdengar mengalahkan kecepatan tangan Arin. Tatapan gadis itu pun semakin horor ketika melihat gantungan ponselnya sudah berada di bawah sepatu seseorang.

Arin mendongak untuk melihat siapa yang telah tega memperlakukan itu pada ponsel beserta gantungannya. Ia semakin kaget ketika matanya berkontak langsung dengan mata Arka. Arin pun mendadak gugup.

Bus kembali berjalan setelah berhenti untuk menurunkan penumpang. Arka menghela napas panjang. Akibat terlalu teledor, ia kecolongan dan terpaksa harus berhenti di pemberhentian berikutnya. Lalu seolah dunia memang sedang tidak berpihak padanya, ia baru saja merusak barang milik orang lain.

Arka berjongkok di dekat Arin lantas mengambil ponsel yang telah menjadi korban tak bersalah itu. Ia menghela napas panjang ketika memandangi gantungan semangka yang menghiasi ponsel cewek tersebut.

"Gue minta maaf," ucap Arka penuh penyesalan. "Gue bakal ganti ini."

Arin tertegun. Ini pertama kalinya ia mendengar suara Arka. Tanpa disadari, ia menatap wajah cowok itu lamat-lamat hingga membuat Arka membalas bingung tatapannya.

"Eh?" Arin mendapatkan kembali kesadarannya. "Nggak. Nggak perlu diganti kok!" ucapnya ceria.

"Yang penting ponsel gue nggak rusak. Lagian gantungan semangka itu udah lama, cuma hadiah chiki-chiki. Nggak perlu lo ganti." Arin terus berucap ketika Arka tetap memberikan tatapan yang tidak dapat diartikan.

Atas pernyataan itu, Arka menepuk keningnya. Ia semakin terlihat bersalah. "Hadiah chiki-chiki? Berarti gue nggak bisa ganti dengan barang yang sama persis dong...," kata Arka lagi penuh sesal.

Arin cepat-cepat merebut kembali ponselnya. Kalau seperti ini dia juga bingung harus berbuat apa. Ia sungguh tidak enak membuat Arka merasa bersalah seperti ini, padahal gantungan semangka itu memang tidak berarti apa-apa.

"Beneran. Lo nggak perlu ganti, nggak usah dipikirin banget...," ucap Arin kekeuh menenangkan Arka.

Lelaki itu lalu berdiri, bus akan segera berhenti dan ia tidak boleh kecolongan lagi.

"Kelas berapa?" tanya Arka buru-buru.

Arin yang tidak begitu menangkap karena semua ini begitu mendadak baginya hanya memasang wajah bingung nan konyol.

"Lo kelas berapa?" ulang Arka.

"Arin Nathania, kelas 10-1!" seru Arin.

Arka lalu memberi satu kali anggukan untuk pamit sebelum berlalu menuju pintu dan menuruni bus, meninggalkan Arin dengan segala ketakjubannya.

Arin menangkup kedua pipi yang tiba-tiba terasa panas. Setelah sekian lama hanya memandangi Arka diam-diam, Arin akhirnya memiliki kesempatan untuk berbicara dengan cowok itu, mendahului teman-temannya.

Vania dan Kanaya pasti iri! Apalagi Arka tadi sampai menanyakan ia kelas berapa. Sedikit mengecewakan memang ketika Arka tidak mengetahui namanya, tapi Arin tak terlalu mempermasalahkan. Toh dia 'kan memang cowok paling populer di sekolah, tidak mungkin ia akan hafal semua nama siswa seperti Arin yang keberadaannya saja mungkin tidak pernah disadari oleh Arka sebelumnya.

"Loh? Gantungan semangka yang gue kasih, mana?" tanya Radit keesokan harinya ketika menangkap ponsel polos Arin, tanpa hiasan.

"Sori, Dit. Kemarin keinjek trus patah," jawab Arin seadanya, merasa tidak perlu menyinggung tentang siapa yang sudah menginjak gantungan semangka tersebut.

"Ya udah, sih. Nggak perlu minta maaf juga, cuma hadiah chiki-chiki," tutur Radit lalu duduk di meja Arin.

"Gue ketemu kakak kemarin," ungkap Radit menyampaikan maksud mengapa ia mendatangi bangku Arin kali ini.

"Serius? Lo ketemu nyokap lo juga dong?" tanya Arin ikut gembira melihat senyuman bahagia di wajah Radit.

Tetapi wajah Radit justru berubah sendu. "Gue ketemu dia di tempat kerjanya, jadi nggak ada nyokap di sana."

"Yah...," gumam Arin menunduk dalam. Pasalnya ia tahu benar tentang keluarga Radit. Ia ingat waktu itu, Radit terlihat benar-benar murung saat menyampaikan pada Arin bahwa kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Sang kakak ikut ibu sementara Radit tinggal dengan ayahnya.

"Kok lo yang sedih?" tanya Radit, sebuah senyuman lebar sudah kembali terukir di wajahnya. "Gue bisa ketemu nyokap kapan aja kalau gue mau," lanjutnya sembari mengacak rambut Arin, kegiatan yang sangat ia sukai.

Arin mengangguk samar dan ikut mengembalikan senyuman tipis. Bagi Arin, Radit mejadi lebih dewasa setelah mengalami pahitnya hidup di mana ia harus berpisah dengan sang ibu. Cewek itu sangat menghargai betapa kuatnya Radit selama ini.

"Gue mau ke toilet dulu," pamit Arin lalu segera pergi meninggalkan kelas.

Arin pergi mencuci muka untuk menyegarkan pikiran mumpung istirahat belum berakhir. Ini juga ia lakukan sebagai tindakan pencegahan agar tidak ketiduran di jam berikutnya. Menepuk pelan kedua belah pipi di depan cermin, Arin merapalkan beberapa kata agar tidak jatuh tertidur nanti.

"Eh bentar, kebetulan nih," ucap seseorang ketika Arin baru saja menapaki kaki keluar kamar mandi. Ia menoleh pada orang tersebut, lalu berjengit kaget bahwa Arka yang datang padanya.

"Gue baru aja mau ke kelas 10-1," tutur Arka, membuat Arin salah tingkah ternyata cowok itu memang bermaksud untuk berbicara padanya.

"Lo perlu sesuatu?" tanya Arin.

Arka mengeluarkan sesuatu dari saku celana lantas meberikannya pada Arin. "Ini buat ganti yang kemarin."

Arin dengan ragu menerima pemberian Arka. Matanya memandangi bungkusan gantungan ponsel berbentuk bunga itu lekat-lekat, bingung akan semua ini.

"Maaf gue nggak bisa nemu barang yang sama," sesal Arka seraya mengusap canggung tengkuknya.

Arin masih memandangi gantungan itu untuk beberapa detik sebelum mengucapkan sepatah kata pada Arka. "Gue 'kan udah bilang kemarin nggak perlu diganti."

Arka menggeleng cepat, bertepatan dengan bunyi bel tanda jam istirahat sudah berakhir. "Pokoknya gue minta maaf tetang kemarin. Tolong lo terima aja, ya? Gue mau balik ke kelas dulu."

Semua ini terlalu cepat bagi Arin. "Eh..., makasih, Ka!" pekiknya sebelum sosok Arka menghilang di persimpangan, kembali ke kelasnya.

Arin masih tertegun di tempat. Ia tidak memedulikan bel yang sudah berbunyi. Ia lebih memilih membuka bungkusan tersebut dan mengeluarkan gantungan ponselnya untuk dilihat lebih jelas.

Mengangkat gantungan berbentuk bunga itu sejajar mata, cewek itu pun terkikik geli membayangkan Arka membelikan sesuatu yang sangat feminin ini untuknya.

Ternyata Arka bukanlah cowok dingin seperti yang ia pikirkan.

—————

terima kasih buat yang udah bilang suka sama cerita ini!

xoxo, fani🌸

Chasing Beside You [HunRene]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang