[Radit di cover!]
•••
Arin merasakan tas sekolahnya bergetar dan ia dapat mendengar ponselnya berdering. Kemudian cewek tersebut menghentikan langkah demi mengambil ponsel di dalam tas dan melihat siapa yang menelepon siang-siang begini, tepat sepulang sekolah.
"Radit?" gumam Arin lantas menempelkan ponsel ke telinga.
"Belakang lo!" sambut Radit di ujung sana namun anehnya terasa dekat.
Arin segera memutar badan dan mendapati Radit tengah menyengir lebar untuknya.
"Hati-hati di jalan!" seru cowok itu ceria, masih tersambung telepon dengan Arin.
"Hati-hati di jalan juga...?" gumam Arin pelan. Ia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan cowok tiang itu. Apa untungnya menelepon jika bisa langsung saling menyapa.
"Gue anter sampe ke halte deh," ucap Radit lalu berjalan beriringan menuju halte di dekat gerbang sekolah.
Menangkap ada sesuatu yang baru, Radit merebut ponsel di tangan Arin lalu mengangkat ponsel tersebut setinggi kepala hingga gantungan bunga yang menggantikan gantungan semangka pemberiannya bergelantungan sejajar di kedua mata.
"Baru, ya?" tanya Radit, masih meneliti gantungan ponsel tersebut. "Agak beda ya dari selera lo? Agak nggak cocok gitu sama imej lo," utara Radit seakan ia adalah orang yang serba tahu segala tentang Arin.
Arin cepat-cepat merebut ponselnya dari tangan Radit. "Gue suka, kok!" Suara Arin sedikit meninggi. Ia sebal Radit berkata seperti itu.
"Kok lo jadi marah?" Radit mempercepat langkah, menyamakan posisi dengan Arin yang melangkah lebih cepat dari sebelumnya sehingga ia sedikit tertinggal. "Serius. Seinget gue lo nggak suka sama barang-barang yang terlalu cewek dan catchy kayak gitu."
"Selera 'kan bisa aja berubah," timpal Arin cepat, ingin segera mengakhiri pembicaraan ini karena rasanya ia tidak sanggup jika harus berkata jujur bahwa Arka yang memberikan gantungan bunga tersebut.
"Lo udah belajar buat ujian, nggak?" tanya Arin mengalihkan topik pembicaraan. Jarak halte pun telah memendek dari posisi mereka berdiri sekarang.
Radit mendengus kasar, pun mengusap wajahnya kasar. "Jangan ingatin gue, ah! Gue nggak suka belajar," eluh cowok itu berlebihan dan membuat Arin terkekeh pelan. Radit memang suka mendramatisir segala sesuatu.
"Mending lo belajar dari sekarang, daripada remedial terus," usul Arin tanpa menghentikan kekehannya seraya menepuk-nepuk pelan bahu cowok setinggi tiang itu.
"Gue duluan, ya. Makasih udah nganterin sampe sini, Dit," pamit Arin lantas berlari menyusul antrean penumpang bus yang sudah lama hilang, yang berarti pintu akan segera ditutup dan bus akan segera berangkat.
Di dalam bus, Arin mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari bangku kosong untuknya. Sebenarnya Arin sudah mendapatkan satu, tetapi ia merasa enggan duduk di sana karena ada Arka di sebelah bangku tersebut. Tetapi takdir berkata lain, tidak ada bangku kosong lagi dan ia tidak mau berdiri saja sampai ke halte berikutnya. Alhasil, ia memberanikan diri untuk duduk perlahan di sebelah Arka agar tidak mengganggu cowok tersebut yang tengah tertidur.
Supir mulai menjalankan bus. Arin dengan lancang memperhatikan wajah Arka dari posisinya, mengagumi betapa indah struktur wajah cowok itu dengan hidung yang mancung. Pipi Arin tiba-tiba menghangat, ia buru-buru menoleh ke arah lain sebelum Arka sempat terbangun dan menangkap basah dirinya tengah memerhatikan.
Namun guncangan bus tampaknya ingin menyiksa Arin. Kini ujung bahu Arka bergeser menumpu pada ujung bahunya. Waktu terus berjalan, guncangan pun semakin sering terjadi hingga mebuat lengan Arin dan Arka kini saling menempel utuh. Arin seketika menjadi gugup, perutnya terasa geli. Ingin rasanya mendorong Arka menjauh tetapi tidak ingin juga karena entah mengapa di sisi lain situasi ini membuatnya senang. Kalau sudah begini, Arin kadang tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
"Tentang gantungan yang kemarin...," gumam suara di sebelahnya.
Arin berjengit kaget ketika sadar bahwa itu adalah suara Arka. Ia bergeser menjauhkan diri karena merasa tidak enak, takut membuat cowok itu tidak nyaman dengan posisi mereka sekarang.
"Kalo nggak suka, lo nggak harus make gantungannya," ungkap Arka. Agaknya ia tidak sengaja mendengar percakapan Arin dan Radit saat berjalan menuju halte bus tadi.
"Gue sebenernya bingung mau milih model yang kayak mana, jadi gue beli aja itu," ucap Arka tanpa menatap si lawan bicara. "Tapi masalah selera balik ke diri masing-masing. Lo nggak perlu maksain diri buat make gantungan itu kalo emang nggak suka."
"Kok lo ngomong gitu, sih?!" sangkal Arin. "Walopun kecil dan nggak sesuai sama selera gue, gue bakal tetep make apa yang udah orang kasih ke gue. Gue suka kok gantungannya."
Pernyataan Arin membuat Arka menoleh, ia agaknya kaget dengan cara berpikir Arin dan menunggu apa yang akan diucapkan cewek itu lagi.
"Lagian gantungannya udah punya gue. Terserah gue dong mau diapain!" seru Arin berapi-api, membuat Arka terkekeh pelan akan reaksi tidak terduga itu.
"Aneh lo," tutur Arka sembari tersenyum. Tentu kata itu menjadi bermakna baik dilihat dari bagaimana cara Arka menyampaikannya.
Arin seketika tersipu, tetapi dadanya terasa sedikit sesak. Ia tidak tahu perasaan apa ini. Apakah ia salah makan tadi?
"Gue duluan," pamit Arka lalu tersenyum lagi. Cowok itu lantas berlalu menuju pintu karena bus sudah berhenti di halte tujuannya.
Yang barusan adalah pertama kalinya bagi Arin melihat seorang Arka tersenyum.
—————
hehe maaf ya gaes kemarin nggak update, soalnya jadwal aku padat banget. mohon tinggalkan vote dan komen yaa!
xoxo, fani🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Beside You [HunRene]
FanfictionBahasa Indonesia; Arin menyadari perasaannya untuk Arka adalah cinta. Namun, ia tidak mengharapkan perasaannya berbalas. Diterima sebagai teman baik saja sudah membuatnya senang. Meski seperti itu, Arin tetaplah seorang perempuan. Mulutnya...