1. Malapetaka

97 21 6
                                    

"Ma, Mama nggak pa-pa?" Kalimat yang sering muncul yang sebenarnya tidak perlu diucapkan jika jelas orang itu tahu bagaimana keadaan seseorang yang menjadi subjek disitu. Kalimat retoris.

"Anak Mama perhatian banget."

"Ma!"

"Mama nggak pa-pa, Rif." ucap wanita tiga puluh sembilan tahun lebih lima bulan itu dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Kepalanya masih terasa sakit.

"Nggak pa-pa gimana Ma! Mama pingsan hampir setengah hari. Rifky khawatir, gimana kalau tiba-tiba terjadi sesuatu sama Mama?"

"Sesuatu itu bakal terjadi, Rif. Kamu harus selalu siap" ucapnya dengan pandangan kosong, matanya menerawang jauh entah kemana.

Rifky menundukkan kepala dengan tangan menggenggam erat jemari Lili yang lemah, tak sanggup menatap wajah Mamanya yang semakin hari semakin tirus. "Jangan ngomong kayak gitu lagi. Rifky nggak siap Ma, sampai kapanpun nggak akan siap"

Detik selanjutnya hening, tak ada yang bersuara.

Lili baru sadar jika dirinya berada di rumah sakit. Tubuhnya diam namun matanya bergerak gelisah. Hingga tujuh menit berlalu, saat jarum yang berdetak hampir melewati angka sebelas wanita itu bersuara, "Papa dimana, Rif?"

Rifky mendongak, ekspresinya berubah saat itu juga.

"Kenapa sih Mama selalu nyari dia? Dia tuh nggak pernah sedetik pun mikirin Mama!"

"Jangan begitu, Rif. Dia itu masih Papa kamu, dia sayang sama kita."

"Oh ya?! Mana buktinya kalau dia sayang? Pernah Mama lihat dia langsung setelah kecelakaan itu? Pernah Mama lihat dia jenguk Mama sekali aja? Pernah nggak Ma?!" emosi mulai menguasai Rifky.

"Tenang dulu, Rif..."

"Mau tenang gimana lagi sih Ma? Mau sabar gimana lagi? Dia sibuk dengan urusannya sendiri, dia sekarang sibuk sama keluarga barunya. Kita itu ibarat permen karet Ma, habis manis sepah dibuang!"

"Rifky!"

"Mama istirahat aja, Rifky mau cari minum dulu." tangannya kirinya yang bebas digunakan untuk memijat kepalanya sendiri.

Setelah menutup pintu, Rifky mengerang kesal. Ia meremas rambut belakangnya dengan gerakan kasar. Tak memerdulikan orang sekitar yang menatapnya aneh. Buru-buru ia keluar dari lorong rumah sakit yang ia yakini akan sangat mengerikan di malam hari yang tak berpenghuni. Tidak, ia tidak takut dengan hal itu.

Rifky berjalan cepat menuju parkiran yang terlihat sepi sampai-sampai tak menyadari jika ia telah menabrak seseorang.

"Argh! Lo tuh ka—" ucapan Rifky terhenti saat dirinya melihat keadaan perempuan yang ditabraknya.

"Astaga!" matanya membulat sempurna.

"Ru-rumah lo," ucap perempuan itu dengan tersedat.

Rifky mengernyit, "Kenapa sama rumah gue?"

"Bawa gue ke rumah lo," ucap perempuan itu dengan tatapan memohon.

"Lo gila? Rumah gue bukan penampungan orang gila! Ogah!" tolak Rifky mentah-mentah.

"Pliss, cuma lo harapan gue satu-satunya."

"Gue bawa lo kedalam, tubuh lo udah nggak berbentuk gini harus segera diobati. Ayo!" Walau Rifky tak mengenal perempuan itu, setidaknya ia masih memiliki rasa peduli terhadap sesama. Mana tega ia meninggalkan seorang perempuan yang babak belur dengan penampilan yang berantakan.

Perempuan itu menahan lengan Rifky membuat sang pemilik menoleh dan mengembuskan napas kasar, "Apa lagi!?"

Mata perempuan itu berkaca-kaca, dengan susah payah ia berkata, "Gue mohon,"

Lights OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang