Sabtu, 19 September 2015 pukul 08.30 pagi.

60 13 0
                                    

Auditorium Universitas Pancasila

Hari pertama masuk kuliah, ritual yang tak bisa dilewatkan adalah OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Ada puluhan kakak-kakak panitia berdiri di segala penjuru, mengelilingi mahasiswa baru, lengkap dengan wajah garang dibalut jas almamater warna biru tua. Adakah yang tersenyum? Ada, mungkin jika dihitung tak lebih dari 10. Satu di antaranya memiliki senyum sangat menawan, Dito namanya. Berbanding terbalik dengan laki-laki di sebelahnya, Damar -ketua panitia yang ternyata satu jurusan denganku.

Dito karismatik, aku berkata dalam hati.

"Hai, kamu! Yang kerudungnya dikeluarin! Sini!" Seorang yang baru saja kusebut dalam hati, membuyarkan lamunanku. Aku menuruti permintaannya.

"Iya, Kak? Maaf, saya tidak mengikuti peraturan untuk menggunakan kerudung yang dimasukkan, karena menurut saya kerudung yang dikeluarkan lebih bisa menutup," Aku berusaha mengutarakan pendapatku. Berharap dia mengerti.

"Baru hari pertama sudah berani melanggar. Sudah tau konsekuensi yang harus kamu tanggung?" Tanyanya.

"Saya siap, Kak." Jawabku mantap.

Saat istirahat, kumanfaatkan waktuku untuk meringankan hukuman. Aku harus mengumpulkan 10 tanda tangan kakak panitia yang nama panggilannya diawali huruf D. Waktu istirahat yang diberikan selama 60 menit harus cukup kubagi dengan makan dan ibadah.

50 menit berlalu, aku butuh satu tanda tangan lagi sebelum 5 menit kemudian aku kembali ke auditorium untuk penyampaian materi selanjutnya.

Haruskah aku meminta tanda tangan orang yang tadi memberiku hukuman ini?

Di tengah hampir keputusasaanku, Tuhan menolongku.
Ah, how lucky I am! Dito -pemilik senyum menawan itu lewat di depanku.

"Kak Dito!" Aku buru-buru menghadangnya.

"Kamu? Yang tadi dikasih hukuman sama Damar, kan?"

Ya Tuhan,, ternyata ingatannya bagus juga. Malu mengakui, tapi mau bagaimana lagi?

Aku memberikan senyum sebelum sepersekian detik kemudian kulemparkan ekspresi memelas padanya.

"Kak, boleh minta tanda tangan? Kurang satu, nih. Ya, Kak? Please?"
Dia tampak berpikir. Atau, haruskah aku memberinya nomor Whatsapp atau username Instagramku saja?
Jangan gila, Mel! Segera kutepis pemikiran itu.

"Oke, tapi ada syaratnya,"

Mati! Apakah dia bisa membaca pikiranku?

"Apa, Kak?"

"Jawab pertanyaanku. Kalau kamu nggak bisa jawab pertanyaanku, kamu nggak akan dapat tanda tanganku. Deal? "

Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan, tak peduli nanti apa yang akan dia tanyakan.

"Siapa nama kamu?"

"Caramel Ranasyifa," Jawabku cepat.

"Alamat rumah?"

Aku hampir tersedak ludahku sendiri, untuk apa dia tanyakan itu?

"Jl. Penanggungan, Surabaya."

Dito mengangguk, kemudian secara cepat dia merebut buku dan bolpoin yang sedari tadi kubawa kesana-kemari.

"Nih! Cepat kembali ke auditorium sebelum nanti Damar marah dan menjadikanmu mangsanya lagi!" Dito lalu balik kanan dari hadapanku, membuat langkah lebar dengan kaki panjangnya.

"Loh, tapi Kak? Pertanyaannya apa?" Aku masih saja tampak bodoh.

Dito membalikkan badan sesaat, melempar senyuman, dan melanjutkan perjalanannya.

Pertanyaan? Siapa namaku? Alamatku? Mel, bukankah itu adalah pertanyaan? Tapi, pertanyaan macam apa? Dia tidak sedang memodusiku, bukan?
Ah...! Aku menutup wajahku dengan buku tulis yang baru saja disodorkan Dito dan berlari ke arah auditorium sebelum aku benar-benar dimangsa lagi oleh Damar.
Kesan pertama di hari kuliah:
1. Dihukum si galak Damar
2. Ditolong si ramah Dito

Lelaki 365 Hari yang Lalu (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang