Senin, 11 Januari 2016 pukul 15.00 WIB

31 10 3
                                    

Ruang kelas terasa sepi karena materi baru saja selesai disampaikan pak Roni. Aku dan Rania masih tinggal di kelas sementara teman-teman yang lain memilih beranjak. Rania yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya tiba-tiba menjerit histeris.

"Wooaa! Mel! Kamu harus lihat ini!" Katanya sambil menunjuk-nunjuk layar ponselnya.

"Apaan sih, Ran?"

"Ini, nih! Kak Dheza nembak kak Dito! Oh my God!"

Aku sedikit terkejut. Bukan terkejut dengan Dito yang ditembak duluan oleh Dheza, melainkan penembaknya, Dheza -cewek terpopuler di kampus ini-.

Selama kuliah, Dito memang banyak digilai perempuan. Mulai dari kakak tingkat, teman-teman seangkatannya, dan tidak ketinggalan, teman-teman seangkatanku yang berhasil dibuat gila karena senyumnya. Aku? Ya, bisa jadi aku termasuk di dalamnya.
Wajar memang. Seorang Dito dengan badan atletisnya ditambah bola mata coklat bening yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai mata hazel. Belum lagi sikap ramahnya ke semua orang, berpenampilan sederhana, serta seorang pemain basket dengan senyum yang menawan sebagai identitasnya.

Dari sekian banyak wanita yang kudengar pernah "menembak" Dito, Dheza lah yang paling banyak mencuri perhatian. Bagaimana tidak, selain menjadi cewek terpopuler, Dheza juga menjadi incaran banyak cowok termasuk Adhrey yang didaulat sebagai si Dito ke dua.

"Mel! Kok malah diem, sih? Kamu cemburu?" Gertakan dan pertanyaan Rania baru saja membuyarkan lamunanku.

"Cemburu apaan, sih? Rania ngaco, ah!"

"Ya kali' aja kamu cemburu. Kak Dito kan sering SMS kamu. Jangan-jangan nih Mel, kak Dito nolak cewek-cewek yang nembak dia karena sebenernya kak Dito nunggu waktu yang tepat buat nembak kamu!" Entah kenapa Rania jadi menggebu-nggebu dan heboh sendiri. Beruntung di kelas hanya tinggal kami berdua.

Nembak aku? Widiihh, jangan mimpi Mel!

"Rania jangan makin ngaco, deh! Udah, kita ke Gramedia sekarang aja, yuk!" Ajakku sambil langsung menyeret Rania. Jika dibiarkan terus menerus membahas Dito, satu jam tak akan cukup meski bahasannya akan tetap sama; Dito ditembak cewek kemudian Dito menolaknya.

Wait? Dheza, seorang Dheza nembak Dito dan ditolak juga? Matanya Dito masih sehat, kan?

Aku dan Rania berjalan ke arah parkiran. Menuju tempat yang berarti kami harus melewati lapangan basket, tempat dimana tragedi Dheza menembak Dito yang berujung penolakan.

Dito masih di sana nggak, ya? Aku was-was dalam hati.

Aku dan Rania terus berjalan sampai kami menemukan tempat motor Rania. Hari ini Rania memboncengku karena sejak kemarin motorku masuk bengkel dan harus diperbaiki.

"Kamu yang bonceng dong, Mel!" Katanya sambil menyerahkan kunci motornya tepat di depan mukaku.

"Bukannya tadi aku udah bonceng kamu? Gantian lah, Ran!"
"Nggak, ah! Kamu pakai rok, aku takut bonceng orang yang duduknya miring karena dia pakai rok," Alasannya sontak membuatku tertawa.

"Ya udah deh, iya. Aku yang bonceng. Hitung-hitung juga imabalan karena udah ditebengin," Jawabku seraya menaiki motor skuter matic milik Rania.

Baru saja menjalankan motor, saat hendak melewati tikungan depan gedung kantor administrasi jurusan, aku terpaksa menghentikan laju motor secara mendadak.

Bbbuukk!

Ya Tuhan! Aku menabraknya.

"Mel! Kamu nabrak siapa?" Rania mulai panik.

"Aduh, aku nggak tau. Aku turun sebentar, pegangin motornya!" Aku bergegas turun dan memastikan orang kutabrak tadi tak mengalami luka parah, amnesia, dan sejenisnya.
Aku tak bisa melihatnya karena dia terlanjur ambruk dan membelakangiku dengan punggungnya. Yang pasti, dia laki-laki.

"Maaf, aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?" Tanyaku.

"Nggak, kok. Maaf, aku juga salah. Nggak lihat-lihat jalan," Katanya sambil merapikan beberapa kertas yang berserakan.

Aku tercengang begitu dia membalikkan badan.

Damar!

"Kamu Caramel, kan? Yang pernah kuhukum waktu OSPEK di hari pertama?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja saat kaki panjangnya sudah berhasil menopang tubuhnya dan berhadapan denganku.

Mati! Kenapa yang dia ingat hanya bagian aku dihukum? Apakah dia bangga dan bahagia bisa menghukumku saat itu?

Sementara aku masih berusaha harus menjawab pertanyaan Damar seperti apa, Dito datang dan melambaikan tangan ke arah kami bertiga. Kemudian dengan ramahnya ia menyapa.

"Hai, Damar. Hai, Rania. Hai, Mel." Namaku disebut paling akhir, tapi setelah menyebut namaku, Dito langsung menyuguhkan senyum yang terlalu sulit kuartikan.

Lelaki 365 Hari yang Lalu (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang