Kamis, 15 Desember 2015 pukul 09.00 pagi.

30 10 0
                                    

Lapangan Basket

"Dito! Dito! Dito!"

Terdengar riuh sorak sorai sepagi ini, aku baru ingat, ada pertandingan basket putera antar jurusan hari ini.

Rupanya, Dito yang jadi bintang lapangan.

"Damar! Damar! Damar!"

Ups! Ternyata aku salah. Damar juga bintang lapangan.

Maka tak heran jika setengah lapangan basket dipenuhi mahasiswi. Mungkin seperempat dari mereka adalah yang sedang dipaksa kekasihnya untuk menemani menonton (aku menggunakan ilmu analisis "kira-kira"), seperempatnya adalah semacam girl squad -yang sengaja duduk di bangku penonton untuk sekedar meneriaki cowok keren bintang lapangan, baru sisanya lagi adalah mereka penggemar tulen olahraga basket. Hanya menonton untuk menikmati, atau bisa jadi juga salah satu pemain dari jurusan lain yang akan bertanding esok hari.

"Mel, kenapa masih diem di tempat? Yuk, nonton! Ada Dito, tuh!" Tanganku tiba-tiba terseret oleh Rania, temanku dua bulan terakhir. Dia langsung mendudukkanku di bangku penonton paling depan yang masih kosong.

"Udah main berapa quarter, ya?" Tanyaku, barangkali Rania tahu.

"Denger-denger sih, ini udah quarter 4."

Ash, pantas saja para pemainnya sudah tampak lelah. Lagi pula, kenapa aku tak lihat papan skornya? Tertera tulisan Teknik Sipil dengan skor 66 dan Ekonomi Bisnis dengan skor 60, itu artinya jurusanku yang memimpin. Mungkinkah itu karena ada Dito?

"Dito! Damar! Dito! Damar!"

Priiittt..! Peluit wasit terdengar nyaring di telinga, padahal baru 5 menit aku dan Rania menyaksikan.

Kali ini seluruh wanita meneriaki Dito dan Damar, mereka bahkan tak peduli dengan pacarnya yang memasang wajah tak santai di sebelahnya.

"Mel, Mel! Itu kak Dito lagi ngeliatin kita, bukan sih?" Rania mencak-mencak sambil memegang pergelangan tanganku erat.

Aku spontan mengalihkan pandangan ke arah Dito yang masih di tengah lapangan. Bisa kulihat dengan jelas wajah plus kaus dengan nomor punggung 03 itu basah karena keringatnya, yah, walau mataku sedikit minus.

"Apaan sih, Ran? Jangan kepedean deh, di belakang kita masih buanyak cewek cantik yang juga melototin dia. Kita mah, apa atuh." Jawabku sekenanya.

"Tapi aku yakin pandangan Dito itu mengarah kesini, Mel!" Rania masih meyakinkan (dirinya, atau mungkin meyakinkanku juga?).

"Udahlah, kita ke kelas aja! 15 menit lagi pak Roni masuk. Kalau kita nggak on time, kita bisa dihukum ngitung berapa jumlah batu bata yang dibutukan untuk membangun sebuah taman yang ukuran luasnya sama persis dengan luas taman jurusan. Mau?"

"Oke, kita ke kelas sekarang!" Ini ketiga kalinya Rania memegang pergelangan tanganku lalu menyeretku sesuka hatinya. Aku pasrah.

Tapi...



Dito, tetap menawan meski berkeringat. Gemingku dalam hati.

***

1 message received
+6285*-****-7890

Kukira gadis berkerudung sepertimu tak suka menonton pertandingan olahraga semacam tadi, Mel. Aku senang kamu datang, meski tadinya aku sangat tidak menyangka. Terima kasih sudah menyempatkan nonton meski hanya quarter terakhir. Jika hari ini kedatanganmu karena ketidaksengajaan, semoga esok kamu datang dengan sengaja, setidaknya untuk melihat tim jurusan kita.

Bolehkah aku bersikap seperti Rania saat dia bilang Dito melihatku? Tidak, maksudku melihat kami tadi? Aku ingin sekali melakukannya. Haruskah? Tapi pak Roni sedang serius menjelaskan materi. Ya sudah, nanti saja. Aku akan menceritakan hal ini pada Rania dengan menyertakan ekspresi histeris, sekalian kubalaskan dendamku karena dia sudah membuat pergelangan tanganku memerah. Sungguh terlalu.

Lelaki 365 Hari yang Lalu (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang