Selasa, 22 Desember 2015 pukul 05.00 pagi.

29 9 0
                                    

1 message received
+6285*-****-7890

Selamat pagi, Mel. Kamu tidak berniat melupakan hari ini, kan? Datanglah ke lapangan basket jam 08.00 tepat dan nikmati pertandingan finalnya. Aku akan membawakan kemenangan untuk jurusan kita, dan kamu! Perihal kamu datang untuk jurusan atau untuk aku, aku tak peduli. Yang penting kamu datang dan duduk di kursi penonton paling depan. Jangan tersenyum sembarangan ya, Mel. Aku takut jika nanti sampai terjatuh di lapangan karena terpesona senyummu. Lebih takut lagi kalau-kalau yang terpesona padamu jadi meningkat jumlahnya.

Sinar matahari masih belum menampakkan diri. Aku masih mendekam dalam selimut tebal sambil tersenyum sendiri membaca pesan dari seseorang yang akhir-akhir ini "menghantui-ku, yang justru entah kenapa aku malah senang. Mungkin semacam secret admirer. Meski sampai sekarang, dia belum mau menunjukkan sosoknya. Tapi kurasa, dia adalah ......

Tok! Tok! Tok!

"Mel! Kamu sudah bangun, belum? Kok tumben belum keluar kamar? Sholat Subuh, Mel..!" Bunda membangunkaku dari balik pintu.

"Iya, Bunda. Mel udah bangun, kok." Jawabku sambil berjalan ke arah pintu kamar.

***

Jam 08.00 pagi

Prrriiiittt..! Peluit wasit ditiupkan bersamaan dengan melambungnya bola oranye di tengah lapangan, tanda permainan baru saja dimulai. Peserta yang lolos di tahap final kali ini adalah jurusanku melawan jurusan Teknik Informatika, sang juara bertahan. Karena ini adalah final, bisa bayangkan bagaimana susana lapangan? Mungkin kalau anak hits bilang, suasananya peecccahh, parah!

Bangku penonton semuanya penuh, bahkan ada yang rela tidak kebagian tempat duduk. Aku hampir begitu, untung saja Rania menyelamatkanku. Meski tidak duduk di kursi paling depan, aku dan Rania masih bisa melihat jelas pertandingannya dari sisi pojok.

"Hampir pangling! Tumben sih, ke kampus pakai rok?" Tanya Rania.

"Kenapa? Ada larangan?" Tanyaku balik.

"Pertanyaan dibalas pertanyaan," Rania mendengus sebal, matanya langsung beralih ke tengah lapangan.

Aku menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

"Jurusan kita bisa menang nggak, ya? Secara, lawan kita tuh anak teknik informatika. Aku denger-denger nih, mereka asli atlet basket semua. Menurut kamu gimana, Mel?"

"Ya bisa dong, Ran! Nggak ada yang nggak bisa kalau kita mau usaha dan berdoa. Berhubung tim kita sedang berusaha memberikan yang terbaik, kita bantu doa yuk, Ran!"

Rania menoleh ke arahku. "Aamiin," katanya sambil mengusap muka dengan dua telapak tangannya.

Kami melanjutkan menonton, mengurangi obrolan akan semakin membantuku fokus memperhatikan jalannya pertandingan. Selain itu, kalau kami masih berisik bisa-bisa kami kena lempar kaleng minuman dari penonton lain yang merasa terganggu.

Quarter 4. Skor 78 - 78. Dua menit lagi pertandingan sengit ini akan berakhir.

Bbbuuk!!

Damar ambruk.

Pemain teknik informatika yang mengenakan kaus dengan nomor punggung 05 itu langsung dihampiri wasit. Sepertinya ia melakukan pelanggaran kepada Damar sampai tubuh laki-laki jangkung itu jatuh tersungkur saat hendak lay up. Sedari tadi jika kuperhatikan, permainan mereka sedikit "kasar". Meskipun dulu aku juga sempat merasakan bagaimana jadi pemain basket, tapi aku baru melihat dengan mata kepalaku sendiri permainan yang sangat "keras" ini. Atau mungkin, mereka sengaja melakukan karena skor mereka berhasil diimbangi tim teknik sipil?

Mulutku mulai komat-kamit. Jika memang begitu maksudnya, maka bisa kunilai mereka bukanlah atlet sejati. Selain itu, tindakan barusan justru membunuh tim mereka sendiri. Wasit menghadiahi free throw yang dimanfaatkan dengan baik oleh Damar sehingga jurusanku keluar sebagai juaranya dengan skor 79 - 78.

Segala macam yel-yel dan teriakan penonton beradu jadi satu. Terdengar menggelengang menyambut kemenangan juara baru dalam pertandingan basket antar jurusan tahun ini.

"Apa kubilang. Tim jurusan kita bisa melawan juara bertahan, kan?" Aku tersenyum puas ke arah Rania.

"Ya! Walaupun unggul satu angka. Yaudah Mel, kita ke kantin yuk! Laper nih, aku belum sarapan." Ajak Rania.

Aku mengiyakan ajakannya.

Saat aku dan Rania masih menghabiskan setengah gelas jus alpukat kami, segerombolan pemain basket jurusan teknik sipil datang. Sepertinya mereka hendak merayakan kemenangannya. Tentu saja aku bertemu Dito, si pemilik senyum menawan.

Ponselku bergetar.

1 message received
+6285*-****-7890

Terima kasih sudah mau datang, Mel. Aku menepati janjiku, membawakan kemenangan untuk jurusan dan untuk kamu. Oh ya, satu lagi Mel. Kamu terlihat anggun memakai rok seperti itu.

Aku memperhatikan Dito yang sedang tertawa bersama timnya. Bagaimana bisa dia mengirimiku pesan? Bahkan dia menggenggam sebotol minuman isotonik, bukan handphone.

Oh, mungkin ini pesan yang sudah dari tadi dikirim tapi baru masuk.

Setelah kuhabiskan segelas jus alpukatku, aku masih belum bisa meninggalkan kantin karena Rania memintaku menunggunya sebentar sementara ia ke kamar mandi. Di seberang sana, laki-laki itu juga sedang sendirian membiarkan teman-temannya meninggalkannya begitu saja.

Kesana nggak, ya? Masa' cewek nyamperin duluan? Tapi nggak masalah, kan? Toh kami nggak ada hubungan apa-apa. Lagi pula, aku hanya ingin memastikan sosok yang selama ini mengirimiku pesan.

Kuberanikan datang ke arahnya. Suasana kantin cukup sepi. Semoga saja tidak ada paparazzi yang akan menyebar fitnah setelah adegan ini.

"Hai, Dit! Eh, maksud saya Kak," baru pertama menyapa sudah salah.

"Hai, Mel. Duduk sini. Ada apa?" Dito menyilahkan duduk tepat di depan kursinya. Kami duduk berhadapan sekarang, dibatasi meja panjang di hadapan kami.

"Ehng.. Begini, Kak. Langsung saja ke inti pembicaraan. Saya cuma mau tanya, apakah ini nomor Kak Dito?" Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menunjukkan pesan masuk di handphoneku.

Dito memandangi lekat-lekat. Bahkan dia mengambil ponselku dan membaca pesan-pesan yang masuk dari nomor itu.

Ngapain baca SMSnya sendiri? Aku menuntut jawaban dan Dito menjawabnya dengan senyuman.

Artinya?

Lelaki 365 Hari yang Lalu (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang