22. Hai, Sorry, Thank You, and Goodbye

11K 634 9
                                    

Hari ini adalah saat-saat terakhirnya ia menginjakan kaki di Hotel milik Lotus Group. Dan baru beberapa detik yang lalu acara perpisahan kecil-kecilan yang diadakan oleh Kevin –yang notabenenya adalah bosnya– berakhir, namun Mario tak kunjung juga menampakkan batang hidungnya.

Senyumannya terkembang sempurna ketika kilasan tentang kemarin saat ia menanti Mario dengan gusar di setiap detiknya berakhir dengan kelegaan yang mampu menjalarkan rasa hangat di sekujur tubuhnya.

Malam itu, Mario langsung memeluknya dan memberinya kecupan-kecupan ringan di puncak kepalanya tepat ketika ia membukakan pintu. Wajah Mario yang sebelumnya tampak frustasi terganti dengan keceriaan. Walau ia bisa melihat gelagat aneh yang Mario sembunyikan, ia tetap mencoba untuk percaya bahwa Mario bisa mengatasinya dan membuat semuanya baik-baik saja.

Dan setelahnya ia hanya bisa berharap seperti yang Mario katakan.

Dengan semangat, ia melangkah ke ruangan Mario yang kurang beberapa langkah lagi sampai dengan tentengan proll cake di tangannya. “Hai Mbak Nia.” Sapanya pada sekretaris Mario yang super ramah dengan logat jawanya yang super kental itu.

“Eh, ada Rissa. Mau ngapelin si bos, ya?”

“Ngerti aja seh, Mbak.” Ucapnya sambil terkikik geli. “Ada nggak nih si bos?”

“Tadi sih ada, Riss. Nggak tau kalo sekarang. Soalnya aku barusan ke kamar mandi.” Balas Mbak Nia yang membuatnya menganggukkan kepala tanda mengerti.

“Eh, aku bawa proll tape banyak loh, Mbak. Mau?” Tawarnya sambil membuka tupperware besar yang sedari tadi ia tenteng kemudian menyodorkan kepada Mbak Nia.

Hari ini ia memang membawa banyak porsi proll untuk dibagi-bagikan. Termasuk untuk teman-temannya yang tadi ikut acara perpisahan kecil-kecilan.

“Eh nggak usah. Di buat si bos kan itu?”

“Nggak dong. Buat si bos ada di sini.” Kekehnya geli sambil menunjukkan tupperware yang ukurannya lebih kecil dibanding yang sebelumnya. “Siniin piring snacknya, Mbak.”

“Makasih buanget loh ya, Riss. Jadi nggak enak aku. Kamu itu kalo ke sini muesti bagi-bagi bekal.”

Ia tersenyum mendengar aksen jawa yang begitu kental dari Mbak Nia. Ia memang orang jawa. Tapi aksennya tidak se-tulen itu, bahkan jauh dari kata tulen. Sejak lahir, kedua orang tuanya mengenalkannya dengan bahasa Indonesia dan sedikit bahasa jawa dengan aksen Surabaya karena memang ayahnya dulu berdomisili di Surabaya dan Malang.

“Kata orang tua, kalo punya rezeki itu kalo bisa di bagi-bagi, Mbak. Lagi pula ini kan cuma bekal. Kalo aku ngasih mobil itu baru mbak Nia boleh sungkan.” Candanya dan disambut tawa oleh Mbak Nia.

Namun, tawa mereka terhenti ketika pintu ruangan Mario terbuka dengan keras disusul dengan geraman Mario pada seseorang.

I’d said it before, Jessy.” Geramnya. Terbesit nada frustasi di dalamnya. Membuatnya mengerutkan kening. Mario marah, pikirnya. Terbukti dengan gerakan naik-turun bahunya. “I don’t love you. I just love her.”

I know, Mario. I just– You don’t know what I’d felt.” Balas seseorang lagi. Di dengar dari suaranya, sepertinya perempuan. Entah siapa juga tidak begitu jelas karena terhalang punggung Mario.

Yes I don’t know. So just–

Can’t you try with me?” Lirih gadis itu pilu.

No, I can’t Jessy. I love her, forever and ever.”

Entah mengapa, tiba-tiba ia sangat merasa bahwa yang mereka omongkan adalah dirinya.

Lovey DoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang