21. Heart Attack

11.6K 632 7
                                    

Gadis ini berlari menelusuri lobi kampusnya. Setelah mengejar waktu deadline yang diberikan dosennya untuk mengumpulkan data-data yang selama ini ia dapat melalui internship yang beberapa hari lalu telah berakhir yang kemudian akan digabungkan dengan data-data skripsinya nanti.

Sekarang, Mario sudah ada di tempat parkir kampusnya untuk menjemputnya dan mengajaknya makan siang untuk mengganti waktu karena kemarin mereka berdua nggak bertemu seharian. Gila, kan? Tapi so sweet banget. Dari Semarang ke Jogjakarta hanya demi makan siang. Bisa banget deh bikin salah tingkah gini.

Sudah beberapa hari sejak program internship-nya di Hotel milik Lotus Group berakhir, Mario jadi lebih sering ke Jogja hanya untuk melihatnya. Biar nggak ada yang berani lirik-lirik, katanya. Aneh banget, deh!

Sesampainya di parkiran dan menemukan posisi Mario yang sedang enak-enaknya memamerkan diri untuk dilihatin secara gratis kayak manekin yang lagi pake baju diskon sembilan puluh persen ditambah sepuluh persen. Ya bukan salah Mario juga sih sebenernya, salahnya juga kenapa mau-maunya punya pacar cakep kayak gitu. Banyak yang ngelirik, kan! Mungkin lebih banyak daripada yang ngelirik Alvan biasanya.

Dengan langkah panjang-panjang, di hampirinya Mario yang berkutat dengan ponsel dan bersender di kap mobilnya. “Ehm! Lain kali aku nggak mau deh kalo dijemput sama kamu.”

“Assalamualaikum dulu napa, Yang.”

Eh– Lupa. “Waalaikumsalam, Mario.”

“Loh?”

“Kan kamu tadi udah salam.”

Mario tersenyum kemudian mengusap puncak kepalanya dengan lembut. “Kenapa nggak mau di jemput sama aku, hm?”

“Tuh liat sendiri.” Kemudian Mario mengikuti arah pandangannya kemudian terkekeh geli sambil mencubit pipinya. “Kamu nyuruh aku biar nggak dilirik cowok. Eh taunya–”

So Jealous, Babe?”

No I’m not, Oilver. Udah ah. Laper.”

“Kamu mau langsung apa ganti baju dulu?” Tanya Mario yang membuatnya menyernyit bingung.

Ia melirik dirinya sendiri yang hanya memakai jeans denim putih dan atasan kemeja ungu berbahan kaos dengan lengan tiga perempat yang ia padu dengan jilbab ungu pastel. “Ganti baju? Mau makan siang aja kan?”

Yes. With my father.”

What?!

“Nggak usah ganti aja deh. Kamu lebih attractive kalo pake baju kasual gini.” Balasnya sambil mengecup ringan puncak kepalanya kemudian membukakan pintu penumpang untuknya. “So Please, Your Majesty.”

“Alay deh.” Ucapnya sambil memukul pelan lengan Mario. “Thank you, Mario.

A kiss, please?” Pintanya yang sukses membuatnya melotot ngeri.

Hell big no, Oliver!

Just on cheek, darl.” Balasnya sambil kedip-kedip genit yang membuatnya tertawa terbahak-bahak sampai air matanya merembes keluar.

Dengan pasti ia tersenyum lembut dan menyatukan kedua telapak tangannya. “Bukan muhrim, Mas Mario.” Balasnya dengan logat jawa tulen tanpa adanya campuran aksen surabaya yang biasanya ia gunakan.

“Yah, kalo gitu cara satu-satunya cuma bawa kamu ke KUA gitu dong, Yang?”

What?!

“Kan enak tuh, Yang. Boleh cium, dipanggil pake sebutan mas, mana manggilnya lembut banget gitu. Ah, betah deh!”

“Jangan-jangan kamu udah kebelet nikah ya, Yo? Akhir-akhir ini kamu ngomongnya ke KUA mulu, deh.”

Lovey DoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang