Jomblo

9.2K 964 48
                                    

Kurang dari 4 bulan lalu.

Pelangi

Terlahir sebagai anak bungsu sekaligus perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara telah menumbuhkanku menjadi seorang yang memiliki rasa percaya diri tinggi, dan... tomboy.

Dua kakak lelakiku sangat protektif tapi juga memberi ruang dan kebebasan bagiku untuk berkembang.

Bebas bermain. Mengikuti permainan apa saja, bersama anak-anak lain di lingkungan rumah atau sekolah.

Tapi...

Selalu ada minimal satu di antara mereka yang mengawasi. Membuat anak-anak lain segan untuk berbuat macam-macam padaku.

Kelihatannya asyikkan punya bodyguard, membuat kita merasa aman.

Tapi, tunggu dulu. Keasyikan itu berubah menjadi mala petaka saat aku mulai beranjak remaja.

Kedua kakakku, Danar dan  Fahri menghalau semua cowok yang berniat mendekati. Membuat mereka berpikir seribu kali untuk mencoba.

Bila ada yang menelepon ke rumah, sebelum sampai kepadaku salah satu dari mereka akan membajak terlebih dulu. Memberondongi si cowok penelepon dengan berbagai pertanyaan.

Begitu pun bagi yang berani datang ke rumah. Tidak mudah untuk bisa menemuiku. Selain kedua kakak, ayah biasanya ikut serta. Menjadi gatekeeper. Juga memberondongi tamuku dengan beragam pertanyaan sebelum memperbolehkan mereka menemuiku. Sementara bunda, memastikan aku di kamar.

"Jangan keluar sebelum dapat acc dari ayah," begitu kata bunda.

Huh.

Menyebalkan.

Dan, tahu hasilnya apa?

Sampai lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana akuntansi, aku bukan hanya berstatus jomblo, namun sama sekali belum memiliki pengalaman berpacaran.

Itulah kenapa saat diterima bekerja di sebuah kantor manajemen investasi dan jasa perencana keuangan, sebagai staf keuangan, aku keukeuh minta kost.

"Kost? Kenapa? Kan rumah kita di Tangerang. Ke Jakarta selatan gak seberapa jauh. Banyak orang yang kerja di Jakarta, rumah di sekitar sini. Tiap hari pp, gak masalah," kata ayah.

Aku menggeleng. "Pokoknya aku mau kost. Aku ingin mandiri. Terus, biar jarak juga gak terlalu jauh. Gempor kali, Yah tiap hari pp naik motor Tangerang - Jakarta. Ntar aku tambah kucel bin kumel," ujarku berusaha memaksakan kehendak.

Sejumlah argumen terus kami ucapkan selama beberapa lama antara aku dan ayah, bunda, mas Danar dan mas Fahri. Cukup alot. Walau pada akhirnya aku menang.

Dan tahukah kalian?

Di usia 25 tahun, setelah 1,5 tahun berstatus anak kost, aku... Pelangi... masih juga... jomblo.

Bukan. Bukan berarti aku ini gadis tidak laku.

Oh, sorry ya... yang naksir padaku ada saja, walau tidak bisa dibilang banyak. Namun... just let say... tidak pernah kekurangan penggemar.

Tinggiku tidak bisa dibilang pendek untuk ukuran perempuan Indonesia masa kini, walau tidak juga bisa dibilang jangkung. 163 cm, tinggi yang cukupan saja.

Kulitku putih terawat (terima kasih pada Mas Fahri). Kakakku yang lulusan dokter umum itu, menikah dengan Kak Aura, sarjana lulusan fakultas pendidikan tata rias UNJ. Bersama, mereka mendirikan klinik perawatan kulit dan kecantikan.

Berkat kebaikan keduanya, aku rutin mendapatkan treatment dan supply berbagai krim perawatan kulit dengan diskon khusus. Bahkan sering juga memperolehnya secara gratis.

Itulah kenapa kulitku putih bersih terawat ala-ala artis Korea Selatan, walau aku bukan penggemar film maupun musik  dari negara berjuluk negeri ginseng tersebut.

Ikut permintaan kakak saja. Daripada dibawelin terus. Ya, sudah nurut. Padahal aslinya aku ini tomboy dan tidak terlalu peduli pada kesempurnaan penampilan luar.

Kecantikan dari dalam, inner beauty. Nah, itu baru penting.

"Yah, gimana kita tau seseorang memiliki inner beauty kalau belum kenal secara personal. Daya tarik fisik, itu kunci awal orang lain tertarik untuk mengenali kita. Selebihnya, baru kecantikan jiwa yang berbicara." Begitu ceramah Kak Aura (bukan sekali dua kali), setiap kali aku bolos perawatan di klinik mereka.

Ya, sudah. Pada akhirnya aku menurut saja, walau kadang masih membandel juga.

"Angi, kamu kayaknya dari tadi dilihatin terus sama cowok yang di sana," kata Gemintang, salah satu teman kostku.

Saat ini, kami sedang berada di resepsi pernikahan Gerhana, juga salah satu teman kostku. Ana ---begitu biasa kami memanggil--- menikah dengan Pak Angkasa, bosku.

"Cowok yang mana?" tanyaku bingung.

"Itu, yang berdiri di balik meja coffee bar," terang Gemi.

Di resepsi pernikahan bertema garden party ini, terdapat sejumlah food stall, termasuk kopi dan teh. Khusus hidangan minuman berkafein itu, stall nya di rancang menyerupai coffee bar layaknya di sebuah kedai kopi. Hanya saja, konsepnya outdoor. Di meja bar itu terdapat mesin kopi profesional. Dan berbagai menu racikan minuman kopi dan teh yang bisa kami pilih. Hot or cold.

"Barista itu?" tanyaku pada Gemi merujuk pada lelaki yang sibuk meracik minuman berkafein dari balik meja bar di sana.

"Iya, itu... kamu perhatiin, deh."

Hanya hitungan detik setelah Gemi berbicara, mata lelaki itu menemukan mataku yang sedang menatapnya. Lalu, tanpa malu dia langsung tersenyum dan mengerlingkan satu matanya padaku.

"Tuh, kan... bener kan?" Gemi mengkonfirmasi.

Aku mengangguk. Masih menatap lelaki itu, sebagaimana dia terus menatapku.

"Siapa sih dia?" Bisikku pada Gemi.

"Samudra. Namanya, Samudra. Panggilannya, Sam. Adik saya," jawab seorang lelaki yang tiba-tiba berdiri di sebelahku, membuat aku dan Gemi terenyak. Mengalihkan pandangan padanya.

Lelaki yang tingginya kuterka tak kurang dari 180 cm itu tersenyum pada kami, lalu menjulurkan satu tangannya untuk bersalaman.

"Kenalkan, saya Jagad. Adiknya Mas Asa."

Samudra #3 Unstoppable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang