Robert POV
Tak bisa dibayangkan, wanita-wanita ini lebih murahan daripada di London. Mereka langsung melekat denganku, hanya dengan satu rayuan mematahkan hati. Bahkan, kami ke kafetaria bersama-sama. Semua orang menatap kearahku yang sedang dikelilingi wanita-wanita seksi. Suara mereka terlalu cempreng sampai-sampai aku tidak bisa mendengar sekitar.
Hanya sekedar memberitahu, aku sudah menyapa hampir seluruh wanita di sekolah ini dan mereka tunduk padaku seperti anak anjing. Aku memasuki kafetaria yang baru untukku, dan menyapu pandanganku di ruangan besar ini. Kami mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan jendela, namun berdekatan dengan konter makanan.
Wanita-wanita itu memesan makanan mereka masing-masing, sedangkan aku menyuruh salah satu dari mereka untuk memesankan makananku. Kami makan sambil mengobrol, tertawa, dan bergurau. Karena bosan, aku mulai mencari wanita lain untuk menarik perhatianku.
Tidak dengan yang rambut merah cemerlang itu, aku mulai meneliti. Yang berwajah india boleh juga. Aku tidak mengencani wanita gendut. Yang berambut pirang, lumayan cantik. Namun perhatianku teralih kepada seorang wanita di depannya. Yang berambut cokelat, berkulit putih, dan berpakaian casual. Ia sedang bergurau dengan si rambut pirang, tertawa dan berbicara tak jelas. Temannya yang pirang sempat melirik ke arahku beberapa kali, dan berbisik pada si rambut cokelat. Aku membenarkan rambutku, bersiap-siap jika ia nanti melirik ke arahku. Namun bukannya melirik, ia malah mengibaskan rambut ke pipi kanannya, membuatku tidak bisa melihat wajah menggemaskannya.
Setelah beberapa menit memerhatikannya tanpa henti, ia melirik kearah gelas minumannya, dan bangkit berdiri. Ia berjalan kearah konter makanan. Wajah kami berhadapan sekarang, aku bisa melihat setiap inchi wajahnya yang semakin lama semakin dekat. Namun anehnya, ia seperti menganggapku tidak ada, ia bahkan menatap tepat ke konter makanan. Ia memakai kaos abu-abu cerah berlengan panjang, celana jins pendek, dan Nike. Ia telah sampai di konter makanan, menumpukan sikunya di konter itu, menunggu sampai ia tiba di tempat minuman. Pinggulnya yang menungging seperti itu, membuatku gemetaran.
Aku bangkit berdiri, berencana untuk memperkenalkan diriku padanya. Aku kini berdiri di samping kanannya, meliriknya dengan sangat lekat. Aku membersihkan tenggorokanku, berdeham, kemudian ia berdiri tegak dan menoleh kearahku.
“Hai,” sapaku padanya, ia mendongak menatap mataku, kemudian langsung beralih lagi ke sebelah kiri, celingukan.
“Kau bicara padaku atau WANITA lain?” Ia menekankan kata ‘wanita’ dipertanyaannya, padahal di sebelah kirinya adalah seorang pria. Aku mengerti maksudnya. Tatapan kami masih bertemu.
“Tentu saja padamu.” Aku terkekeh mendengar kata-kata sinisnya. “Aku Robert Pattinson.”
“Ya, aku tau, siapa yang tidak mengetahui namamu? Dan aku tidak mau menjadi seperti wanita lain yang sudah menjelma menjadi anak anjingmu.” Sindirnya. Ia berbicara tanpa menatap mataku. Aku tergelak, geli. Aku bahkan tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh wanita.
“Aw,” aku terkejut, “kau wanita yang cukup percaya diri,” tuturku, walaupun tebakannya memang benar bahwa aku akan menggodanya. “Lagipula, aku tidak akan menjadikanmu anak anjingku, kok.” Aku menantangnya.
“Bagus sekali. Aku jadi induk beribu-ribu anak anjing.” Ujarnya sambil menengok kearah wanita-wanita itu. Tawaku menjadi-jadi sekarang.
“Bolehkah aku mengetahui siapa namamu, induk anjingku?” tanyaku, menggunakan julukan baruku padanya. Ia terdiam cukup lama.
“Anna,” jawabnya, “Anna Stark.”
“Biar kutebak, ayahmu Iron Man, huh?” Aku menyengir lebar, mengingat percakapan unik ini.

YOU ARE READING
Insane
Fiksi RemajaRobert Pattinson, anak dari seorang aktris hollywood tergila-gila pada seorang Kristen Stewart yang hanyalah gadis kutu buku. Padahal ada lebih dari sepuluh gadis sexy yang berlomba-lomba untuk mendapatkan hatinya. Apa yang akan dilakukan Kristen S...