Perjanjian

162 2 1
                                    

Ia sedang duduk di sebuah bangku di dekat pancuran air sambil membaca buku. Aku tersenyum, dan melangkah mendekat. Aku berdeham, "Bolehkah aku duduk disini?" tanyaku, memegang bangku di sisi meja yang satunya. Ia tak menjawab, hanya menatapku. Akupun duduk tanpa rasa bersalah.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, menatap mataku.

"Duduk," aku mengangkat bahu.

"Bukan itu," ia mendesah, "Tadi, dikelas?"

"Yang jelas aku tak menyontek. Aku tak sebodoh itu," aku mulai mencari alasan.

"Lalu?" tanyanya penasaran, matanya masih terus menatapku. Kuletakkan kedua tanganku di badan bangku, bersantai.

"Mengapa kau mengaku sebagai Anna Stark?" pertanyaanku menyergapnya, ia menahan senyum, wajahnya memerah.

"Kau terlalu mudah memercayainya." Lepas sudah tawa gemerincingnya. Baru sekali aku melihatnya tersenyum lepas di hadapanku.

"Wanita gendut, huh?" ejekku. "Lalu siapa namamu sebenarnya?"

"Mmm, Bella Swan." Ia tertawa lagi. Aku memutar bola mataku.

"Siapa lagi dia? Wanita kurus kerdil, atau semacamnya?" tanyaku, sarkatis.

"Hey," sergahnya, dan menghapus setitik air yang keluar dari matanya. "Dia sangat cantik, asal kau tahu. Dia adalah tokoh utama di novel favoritku."

"Ini hobby-mu atau apa? Menyamarkan nama?" Ia tertawa lagi. "Padahal, Kristen Stewart adalah nama yang sangat cantik." Wajahnya berubah serius, kemudian bangkit dari bangkunya. "Tunggu, kau mau kemana?" tanyaku, dan mengikutinya. Ia duduk di bawah pohon rindang dan mulai membaca lagi. "Hey, ayolah. Kau ini sensitive sekali. Apa aku salah bicara?" aku mengambil tempat di depannya, namun menghadap ke sebelah barat.

"Sudah kubilang, aku tidak mau menjadi induk anjingmu." Tuturnya tanpa menatap mataku.

"Maukah kau memberitahu apa salahku?" tanyaku, sok polos.

Ia mendongak dan menatap mataku. "Kau sudah tahu apa salahmu. Kau ini seperti strawberry bagiku. Aku alergi pada strawberry, namun aku bisa tahan jika buah itu telah diolah menjadi susu."

Aku mengambil kesimpulan, "Jadi maksudmu, kau alergi dengan sikap playboyku, tapi kau akan menyukaiku jika aku tidak bersikap playboy, begitu?" senyumku mengembang saat mendengar kata-kata menyukaiku dari mulutku sendiri.

"Tidak menyukai juga sih, cenderung bisa menerimamu." Tangannya bergerak saat bicara. Senyumku layu, lagi-lagi ia memberiku harapan palsu.

"Sebenarnya, aku ini bukanlah playboy. Secara teknis, aku tidak memacari mereka. Aku hanya menggoda mereka." Ujarku panjang lebar.

"Terserah apalah kau menyebutnya." Tuturnya, dan bangkit berdiri.

"Oh, ayolah, apa kita harus berpindah tempat lagi? Seperti sedang shooting saja." Ia menatapku aneh, dan aku mulai bengkit berdiri.

"Hai, Nikki!" ia melambaikan tangannya kea rah timur. Oh, benar, si pirang. Ia meninggalkanku tanpa basa-basi lagi. Namun, aku menarik pergelangan tangannya saat ia berjalan mendahuluiku.

"Apakah kau mempunyai etika? Bisakah kau mengucapkan kata perpisahan pada temanmu? Sampai jumpa, atau apalah. Hm?" tantangku. Ia berdiri di depanku, tangan kami masih bertaut.

"Aku tidak mempunyai teman yang sering mempermainkan wanita, ingat?" ia melepaskan tanganku kemudian berlalu. Sial.

Kristen POV

Aku menarik tangan Nikki saat kami meninggalkan Robert. Mulut Nikki masih ternganga lebar saat tahu bahwa aku baru saja mengobrol dengannya. "Apa itu tadi, Kris?" Ia menginterogasiku saat kami melewati kooridor sekolah.

InsaneWhere stories live. Discover now