Satu

97 40 95
                                    

     'Kring..kring..kring..kring'

Suara jam weker berdering di atas lemari kecil di samping ranjang yang dibalut bedcover bergambar logo salah satu klub bola Inggris, Chelsea Fc. Seorang perempuan yang mengenakan piyama dan sebuah jilbab kecil yang menutupi seluruh rambut dan sebagian kepalanya perlahan-lahan membuka mata. Tangannya meraba ke atas lemari putih di sampingnya dan menekan tombol di atas jam weker untuk menghentikannya berdering.

Mifta menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru tetapi kemudian matanya kembali tertutup.

Jarum jam terus bendenting dan berputar melalui angka-angka yang ada disana. Tidak tahu sampai kapan Mifta tertidur.

"Neng! Neng Mifta! Sudah siap belum?"

Mifta akhirnya terbangun setelah mendengar suara bi Ina diiringi dengan suara ketukan pintu yang lumayan keras. Mifta mengusap-usap kelopak matanya seraya beranjak untuk duduk. Kemudian ia melihat jam di sebelahnya.

Sontak matanya terbelalak. "What? Sebentar lagi jam 7? Aaaaa gue ketiduran."

Ia berlari mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Bi Ina bisa mendengar suara grabak grubuk dari luar kamar. Itu suara Mifta yang berlari tidak karuan sehingga menyambar beberapa barang di kamarnya. Bi Ina menggelengkan kepalanya lalu berjalan menuruni tangga untuk kembali ke dapur.

Tidak berselang lama Mifta keluar dari kamar dan berlari kecil menuruni anak tangga.

"Ayah mana bi?"

"Sudah berangkat neng. Tadi, eneng di suruh naik taksi ke sekolah."

"Aduh makin telat dong." Mifta berlari menuju pintu keluar dengan tas yang tergantung-gantung di bahu kanannya.

"Neng sarapan dulu!" bi Ina sedikit berteriak.

Mifta kemudian berbalik dan berlari menuju meja makan. Ia mengambil satu roti tawar lalu dicomotnya. "Oko pego dolo yo be."

Bi Ina berusaha mencerna perkataan Mifta. "Ngomong apa sih Neng?"

Mifta cepat-cepat mengunyah roti di dalam mulutnya lalu meminum beberapa teguk susu. Ia menghela nafas. "Aku pergi dulu ya bi, Assalamualaikum," ia kembali berlari keluar rumah.

"Waalaikumsalam."

Di perjalanan Mifta tidak bisa tenang. Ia sesekali melihat jam tangannya dan mengetuk-ngetuk pahanya. Ia bersandar di kaca taksi sebelah kanan sambil memperhatikan jalan yang macet. "Astaghfirullah," ia memejamkan matanya. Mifta sangat menyesal tidak segera bangun saat jam wekernya berbunyi. Ini akibat tidur terlalu larut. Bangun subuh jadi susah.

Setelah tiba di depan gerbang sekolah, Mifta berjalan pelan sambil mengintip. "Aduh ada pak Muly lagi." Mifta menepuk jidatnya setelah melihat Pak Muly-Guru BK sedang berdiri di samping gerbang. Setiap pagi, saat gerbang sekolah sudah ditutup oleh satpam, pak Muly berdiri disana untuk menunggu siswa yang terlambat dan menghukumnya. Para siswa yang terlambat maksimal 2 jam boleh dibiarkan masuk tapi tetap mendapat hukuman.

"Hari ini nggak ada yang telat ya selain gue?" Mifta lalu berjalan pelan sambil tersenyum ke arah pak Muly. Satpam yang melihat Mifta segera membuka gerbang dan mempersilahkan Mifta masuk. "Assalamualaikum pak," Mifta memamerkan deretan giginya di depan pak Muly yang tetap saja memasang wajah garang.

"Waalaikumsalam. Tumben kamu terlambat. Kenapa?" tanya pak Muly.

"Anu pak..itu," Mifta terkekeh.

"Nganu nganu, apa?" tegas pak Muly.

"Telat bangun pak."

Pak Muly menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu tahu kan hukumannya apa?"

"Bersihkan pekarangan sekolah pak."

"Bagus. Yasudah laksanakan."

"Tapi pak, saya ada ulangan harian matematika pak. Setelah ulangan saya akan bersihkan pekarangan pak. Saya berjanji. Lagian kan pak, saya cuma terlambat 10 menit."

"Enak saja."

"Tolong pak." Mifta memasang wajah memelasnya.

"Begini saja, kamu bisa pilih. Bersihkan pekarangan sekarang atau bersihkan wc setelah kamu ulangan."

Mifta menggaruk-garuk kepalanya. Ia bingung. Memang lebih baik membersihkan pekarangan daripada membersihkan wc, tapi jika ia membersihkan pekarangan ia tidak bisa ikut ujian matematika dan harus remedial. Daripada ia tidak bisa mendapat nilai yang bagus karena remedial, lebih baik ia membersihkan wc saja.

"Saya pilih membersihkan wc aja pak," ucap Mifta lalu tersenyum masam.

"Baiklah. Tapi, jika kamu melanggar janji, saya akan beri kamu 20 poin."

"Siap pak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Mifta tidak akan mau mendapat poin. Baginya poin dari guru BK itu dapat mencoreng namanya di sekolah ini. Apalagi kalau sudah 100 poin, ia akan dikeluarkan dari sekolah.

Mifta berlari kecil di pekarangan sekolah melewati lapangan futsal.

'Buk' Sebuah bola futsal melayang dan menabrak kepala Mifta. "Aduh," Mifta meringis sambil melihat ke lapangan. Ia melihat seorang laki-laki tinggi sedang berjalan ke arahnya.

"Kalau jalan hati-hati dong," ucap Yusuf, laki-laki yang menendang bola itu.

"Eh bukannya minta maaf malah marah-marah," sahut Mifta.

"Gue nggak marah, gue cuma kasih nasehat."

"Yang harusnya ngasih nasehat itu gue. Kalau mau nendang bola itu lihat-lihat dulu. Lo pikir gue gawang apa? Nih kerudung gue jadi kotor," kata Mifta tidak mau kalah sambil menunjuk kerudungnya yang terkena bola.

Yusuf berkacak pinggang. "Eh jadi cewek jangan sok tahu. Lo pikir main bola itu gampang? Wajar aja kali kalau tendangan gue meleset."

"Iya meleset karena lo nggak pakai teknik yang benar. Yang wajar meleset itu kalau lo main sama lawan. Lo ambil nilai penjas kan? Nendangnya sendirian aja kan? Gitu aja meleset."

Yusuf melihat lambang kelas Mifta yang tertempel di seragamnya. "Songong amat, kayak ngerti aja. Lo mau nantang gue? Lo kelas XI apa?"

"XI IPA 1, kenapa?"

"Oh kelas kutu buku itu ya? Gue tungguin lo jam istirahat di lapangan futsal."

"Oke. Lo balik ke lapangan noh, sebelum diterkam pak Budi." Mifta menjulurkan lidahnya dan kembali berjalan.

Yusuf hanya memutar bola matanya lalu mengambil bola dan membawanya ke lapangan.

"Ganteng-ganteng resek. Bisanya cuma nantangin cewek doang," Mifta bicara pada dirinya sendiri lalu memasang wajah mual. "Aduh lupa, gue kan telat." Mifta berlari menuju kelasnya.

Setelah masuk di dalam kelas. Bu Rahma, guru matematika, menggeleng-geleng kepala melihat Mifta terlambat.

"Kamu terlambat ujian 35 menit. Sisa waktunya tinggal 50 menit. Tetap ingin ikut ujian atau mau remedial besok?" jelas bu Rahma.

"Saya tetap mau ujian bu."

"Baiklah." Bu Rahma menyerahkan soal ujianmatematika kepada Mifta.    

The AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang