Aku menatap dinding. Mendengarkan detak jantungku. Menghitung detik demi detik. Berkonsentrasi menjaga napasku tetap tenang dan stabil. Aku sudah bukan anak kecil berumur dua belas. Aku sudah dua puluh enam dan menjadi akuntan sukses. Tidak seharusnya aku panik begini.
Aku memejamkan mata lagi. Mengambil napas dalam-dalam. Lalu membuka mataku.
Cat putih dinding. Ubin dingin. Bau khas obat-obatan. Lorong panjang penuh orang-orang.
Aku benci rumah sakit.
Aku melirik jam tanganku dengan gelisah. Kapan pintu itu akan terbuka?
Jangan pingsan. Jangan pergi. Bertahan di sini. Ada seseorang yang menunggumu di dalam sana.
Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun.
Pintu terbuka.
"Jung Jaehyun ssi?"
Aku berdiri tergesa. "Ya."
"Kondisinya sudah stabil. Anda bisa masuk untuk melihatnya sekarang."
Aku melewati pintu sebelum dokter selesai berbicara, tanpa sengaja menabrak
suster yang ada di belakang dokter tadi. Langsung menuju sosok di ranjang
sana.Dadaku terasa sesak. Terlalu banyak kabel yang dipasangkan di tubuh itu.
Sambil terduduk di kursi aku melihat napas teratur darinya. Di balik
perban-perban luka itu dia masih sama seperti dulu. Setiap detailnya… aku
tahu. Yang berbeda adalah warna rambutnya yang kini merah muda. Seperti
permen kapas.Napas dan detak jantungnya seirama dengan milikku. Aku diam. Melihat bulu
matanya yang lentik mulai bergerak-gerak. Ada kerutan di dahinya. Aku menahan napas. Melihatnya mulai membuka mata dan menatap langit-langit.Keluhan sakit atas tubuh yang digerakkan lolos dari bibirnya. Dadaku sesak lagi.
“Hyung…”
Kepalanya menoleh ke samping. Menatap lurus padaku dengan sayu.
"Jaehyunie kau datang." Suaranya serak dan pelan. Senyum kecilnya merekah.
"Aku senang kau datang."Aku merasa wajahku memerah. Aku membuang muka. Memutuskan kontak mata dan menatap tangan yang terinfus sebagai gantinya.
"Bagaimana bisa nomorku ada di kontakmu hyung?”
Aku belum pernah bertemu dengannya lagi dalam tujuh tahun ini. Justru
mendapat panggilan dari orang asing yang menyuruh datang ke rumah sakit.Taeyong tertawa pelan. Mengernyit merasakan nyeri lalu menarik napas.
"Aku memintanya dari Kim ahjumma. Kupikir nanti jika aku sekarat aku bisa
menelpon dan mendengar suaramu untuk yang terakhir kalinya.""Tidak ada yang sekarat." Jawabku. "Tidurlah lagi. Hyung butuh istirahat."
"Jaehyun."
Aku mendesah. "Taeyongie hyung."
Sudut mulut Taeyong terangkat ke atas membentuk senyum. Sepertinya karena panggilanku untuknya. "Apa kau
merindukanku?" Tanyanya.Aku tidak terbiasa berbohong. Tapi tetap melakukannya. "Tidak."
Aku melihat senyum di wajahnya menghilang. Matanya memberat dan mulai menutup.
"Jaehyunie pembohong yang payah." Katanya.
"Tidur hyung. Aku akan tetap di sini."
Aku tidak sadar ikut jatuh tertidur sampai dikejutkan oleh suara ribut dari
luar. Taeyong bergerak gelisah tapi tidak membuka mata. Sepertinya sedang memimpikan sesuatu.Selimutnya sedikit turun. Aku membenarkan letak selimut itu baru setelahnya bangkit untuk melihat situasi di luar.
Begitu membuka pintu. Aku bisa melihat seorang pria tinggi sedang berdebat dengan salah seorang perawat di sana.
"Maaf Tuan." Katanya. "Tapi jam besuk sudah habis. Anda bisa kembali ke
sini besok.""Lima menit." Pria itu menggeram. "Biarkan aku melihatnya."
"Saya minta maaf tapi tetap tidak bisa. Sudah kebijakan di rumah sakit
kami-""Aku tidak peduli dengan kebijakan kalian!"
Dia menjauh dari meja. Tidak peduli dengan suster yang berusaha menahannya.
Dia berjalan tergesa di lorong ruang inap dan aku hampir mundur beberapa
langkah saat matanya menatap ke arahku.Aku hanya diam. Berharap dia pergi
melewatiku. Tapi tidak. Dia justru mendekat."Kau siapa?" Tanyanya. Tidak ada kesan ramah di sana. Hanya dipenuhi kecurigaan.
Aku ingin menanyakan hal yang sama.
“Jaehyun. Adik dari pasien yang dirawat di ruangan ini.”
Pria tinggi itu terlihat terkejut. "Aku tidak pernah tahu Taeyongie punya
adik laki-laki.”Taeyongie katanya?
“Kau siapa?”
“Aku kekasihnya."
Mulutku tiba-tiba kering. Aku menelan ludah. Aku tidak pernah tahu jika Taeyong
hyung punya kekasih. Tapi begitu dipikir lagi. Aku memang tidak tahu
apa-apa tentang hyungku itu. Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk
merubah segalanya."Dimana dia?"
Aku membuat isyarat dengan menoleh ke arah pintu. "Sedang tidur."
Pria tinggi itu melewati pintu sebelum aku selesai berbicara. Aku mengikutinya masuk. Kemudian dibuat mengaku di dua langkah pertama. Melihat bagaimana dia mendekati tempat tidur di ruangan itu. Membelai pipi Taeyong hyung lembut. Mencium dahinya sambil membisikkan sesuatu.
Aku bertanya-tanya apakah perasaan yang kurasakan di hatiku saat ini adalah apa yang orang-orang sebut sebagai perasaan... cemburu?
"Seo Youngho. Johnny." Kata sosok asing itu. Tangannya terulur ke arahku. “Namamu Jaehyun?”
Aku mengangguk. Menyambut uluran tangan itu ragu.
"Bagaimana dengan... secangkir kopi? Kurasa kita bisa meninggalkannya
sebentar agar bisa tidur dengan tenang.”Johnny terlihat mempunyai banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan. Itu tidak bisa ditutupi.
“Baiklah.” Mulutku bergerak tanpa sadar menjawab tawaran itu. Aku melihat Taeyong hyung yang terbaring dari kejauhan. “Kurasa… itu bukan ide buruk.”
TBC