Johnny duduk di depanku. Aku menatapnya. Mengamati lamat-lamat sosoknya. Tinggi Johnny jelas melebihiku dan wajahnya cukup tampan. Dia mendorong secangkir kopi yang masih mengepulkan jejak uap. Aku menerimanya dengan canggung. Mencicipi sedikit cairan cokelat berkafein yang langsung membakar lidah. Aku tidak menunjukkannya. Tentu saja.
"Jadi Taeyong punya adik laki-laki." Katanya. "Lalu kenapa aku tidak pernah bertemu denganmu?"
Aku menyesap lagi kopiku, lebih berhati-hati kali ini dengan meniup-niupnya dulu. Kopi dari kafetarian rumah sakit sama sekali tidak enak.
“Kami sudah tujuh tahun tidak bertemu.”
"Tujuh tahun?"
Aku mengangguk.
"Begitu. Pantas. Hanya aneh saja aku bahkan tidak pernah tahu dia punya adik. Padahal kami sudah bersama sejak lama."
Aku mendesah. Aku tidak ingin membahas ini. Apalagi dengan orang asing. Meski orang asing itu kekasih Taeyong hyung.
"Memangnya seberapa jauh yang kau tahu tentang hyungku?"
Johnny menyesap kopinya.
"Banyal hal. Dia berkata ibunya meninggal karena kanker saat berumur sebelas tahun dan tidak pernah mengenal ayahnya."
Itu benar.
"Dia tinggal di panti asuhan milik Kim ahjumma sampai berumur tujuh belas. Bekerja dimanapun sejak itu untuk hidup dan membayar uang sewa. Bekerja sebagai pengantar makanan, pelayan cafe, penjaga toko buku, bahkan di bar. Aku bertemu dengannya di sana. Seseorang mencoba mengganggunya saat itu.”
Aku menatap cangkirku. Tertegun mendengar cerita itu.
"Apa?" Bisikku.
Johnny mendengarnya.
“Begitulah. Kau tidak tahu?”
Aku menggeleng. Merasa bersalah. Dadaku terasa dicengkram. Sial. Apa yang selama ini terjadi pada Taeyong hyung?
“Lalu bagaimana caranya kau sampai di sini?”
"Nomorku ada di kontaknya. Seorang menelpon menyuruhku datang. Aku hanya mendapat kabar jika dia tertabrak mobil. Pengemudi mabuk. Lengan dan tulang rusuk patah. Kehilangan banyak darah.”
Aku tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Johnny langsung. Pria itu sedang menatap ke arahku. Aku tahu karena bisa merasakan tatapan tajamnya.
"Bisa ceritakan apa yang terjadi? Kenapa Taeyong harus hidup menderita sementara adiknya justru memakai setelan jas Armani?”
Peganganku pada cangkir kopi menguat. Tanganku gemetar pelan.
“Aku mendapat beasiswa. Menyelesaikan kuliah. Bekerja sebagai akuntan sekarang. Aku berpisah dengannya sejak berumur lima belas. Hanya pernah sekali melihat Taeyong hyung lagi empat tahun kemudian.”
“Dengan kata lain. Kau meninggalkannya?” Tanya Johnny.
Aku bisa mendengar amarah dalam suaranya. Dia marah mungkin karena satu-satunya keluarga yang dimiliki kekasihnya justru memilih meninggalkannya untuk hidup menderita.
Aku yakin Johnny peduli pada Taeyong hyung. Terus melindunginya sampai pada tahap terlalu posesif.
Aku tidak tahu kenapa aku merasa marah juga.
"Aku pergi karena merasa kami tidak bisa hidup bersama. Itu… tidak sehat."
"Bullshit. Omong kosong macam apa itu?"
Aku mengangkat bahu dan berdiri. Aku mencoba menghindari tatapan Johnny sebisanya.
"Aku akan kembali ke atas. Aku tidak mau Taeyong hyung sendirian saat terbangun. Dia takut rumah sakit."
Aku juga. Tambahku dalam hati.
Rumah sakit selalu membawa kenangan buruk akan kehilangan sosok penting dalam hidup kami. Ibu.
"Aku ikut." Kata Johnny. Bangkit juga mengabaikan kopinya yang masih tersisa setengah.
Aku mengangguk. Tidak terlalu peduli.
Kami kembali ke atas. Taeyong hyung sudah bangun saat itu. Tersenyum lemah pada kami berdua meski sepertinya terlihat masih pusing.
Johnny mendekat dengan cepat.
"Seharusnya kau tidur." Katanya. Dia terdengar geli saat membungkuk untuk mencium dahi kekasihnya yang masih terperban.
Taeyong hyung membalasnya dengan sebuah ciuman di pipi.
Aku merasa sesak itu datang lagi. Tapi mendekat juga sampai berdiri di samping tempat tidur.
"Sudah bertemu dengan orang terpenting dalam hidupku?” Tanyanya. Tidak jelas pada siapa karena dia memandang kami berdua dengan sayu.
"Maksudmu aku?" Johnny terkekeh, menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu kau bisa bermulut manis juga. Sepertinya dokter salah mengira. Kepalamu pasti terbentur terlalu keras baby.”
"Youngho." Rengek Taeyong. "Maksudku Jaehyun. Kalian sudah berkenalan?"
Suaranya masih pelan dan serak. Matanya menatapku lembut saat dia mengatakan ini. Dia tidak berubah sama sekali. Taeyong hyung yang menyayangiku tidak berubah.
Bahkan setelah aku meninggalkannya selama ini dia masih menganggapku orang terpentingnya? Mengatakan itu di depan kekasihnya?
Senyum di bibir Johnny menghilang digantikan sebuah garis tipis. “Sudah. Kami bicara sebentar tadi.”
Suasana canggung ini semakin tidak mengenakkan.
"Aku harus pergi." Kataku. Meraih mantel dan tas di kursi. "Aku tidak mau menggangu kalian."
"Jangan pergi."
Aku terdiam sebentar. Tapi tetap mengenakan mantelku dan menuju pintu.
Johnny melirik sekilas. “Sepertinya Jaehyun ada urusan jadi tidak bisa tinggal lebih lama.” Katanya menenangkan. Mengantikanku memberi alasan.
"Tapi aku masih merindukannya."
Aku hanya berharap tidak ada selaput bening di mata indahnya saat dia mengatakan itu. Membayangkannya saja membuat hatiku sakit.
"Jaehyunie." Panggilnya lagi.
Aku ragu. Tapi tidak berbalik.
"Terimakasih sudah mau datang."
Suara itu terdengar begitu tulus. Aku mengeratkan peganganku pada gagang pintu.
“Aku pergi.” Bisikku pamit.
Aku berjalan keluar setelah pintu terbuka. Berpura-pura tidak ada yang terjadi. Tidak berniat datang lagi.
Taeyong hyung punya kekasih yang akan menjaganya. Aku tidak dibutuhkan. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya akan kembali ke kehidupanku yang monoton dan membosankan. Sekali lagi.
Tanpa Taeyong hyung.
TBC