Bogor, Upnormal Café [23:05]
Aku datang ke tempat yang dimaksud Rasta sepuluh menit yang lalu. Dia belum datang, padahal dialah yang mengajakku duluan ke sini, bahkan menyuruhku agar tidak datang telat. Aku masih duduk sendirian di kafe, menatap sekeliling untuk melihat kehadirannya. Sepertinya dia yang akan terlambat.
Malam ini bukanlah malam yang spesial. Tidak ada tempat mewah dengan hiasan lilin cantik di atas meja, makanan mahal, acara live music dengan iringan biola merdu kesukaanku, ataupun pelayan ramah dengan balutan jas hitam rapi plus dasi kupu-kupunya. Semua tidak seperti itu. Ini malam sederhana, bahkan mungkin cenderung menyedihkan.
Seminggu yang lalu Rasta mengulangi lagi kesalahannya yang jelas mempengaruhi hubungan kami berdua. Memang, ia tidak sampai selingkuh, tapi sikapnya yang 'genit' pada banyak perempuan membuatku semakin lelah menghadapi masalah ini.
Seorang pramusaji dengan kaus putih polos mengantarkan teh hangat pesananku di meja, membuat lamunan tentang Rasta seketika buyar.
"Terima kasih," kataku.
Dan akhirnya Rasta datang ketika aku baru saja menyesap teh tanpa gula ini. Ia hanya mengenakan kaus oblong sederhana, ditutupi oleh jaket abu-abu yang resletingnya rusak, dan celana jeans warna biru dongker kesukaannya.
#NowPlaying: Raisa – Usai Di sini
"Maaf aku telat, Fil," ucapnya saat duduk di hadapanku.
"It's okay. Ini hal yang biasa," jawabku tersenyum, meski sedikit dipaksakan.
***
Hadirnya tanya yang tak terjawab...
Mampu menjatuhkanku yang dikira tegar...
Setengah jam kami lalui tanpa ada percakapan yang serius. Baik aku dan dia hanya fokus pada makanan dan minuman masing-masing. Sampai ketika piring dan gelas sudah kosong dan hanya meninggalkan noda, raut wajah Rasta mulai serius. Matanya menatapku tajam, aku pun balas memandanginya.
"Jadi, ada masalah apa?" tanyaku mendahului.
"Filia... Aku rasa kamu–"
"Biar aku tebak, kamu mau mengakhiri hubungan kita, kan?" Aku memotong perkataannya dengan nada tegas.
Rasta menundukkan kepalanya seakan tidak berani melihat perempuan yang selisih umurnya lima tahun lebih tua darinya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, menandakan ada kebingungan yang sedang menyelimuti dirinya.
"Semua udah jelas dari gerak-gerik kamu seminggu ini," kataku menambahkan.
"Filia, tolong, biarkan aku... bicara..."
Aku diam tanpa ingin memotong kembali ucapannya. Ya, sepertinya tidak ada salahnya juga memberi dia kesempatan.
"Sejujurnya aku juga nggak mau menginginkan hal ini." Mata kami kembali bertemu. "Tapi... hubungan kita memang sebaiknya berhenti sampai sini."
Kau tepikan aku... Kau renggut mimpi...
Yang dulu kita ukir bersama...
Kali ini aku yang menundukkan kepala. Jujur, ini memang hal yang menyakitkan untukku. Selama ini aku tahu bahwa dia dekat dengan banyak perempuan lain yang tentunya lebih cantik, seksi, dan pintar dibandingkan aku. Tapi aku juga tahu, bukan hal itu yang menjadi alasan utama kenapa ia seberani itu memutuskan hubungan yang sudah terjalin tiga tahun ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Melody
Cerita Pendek[Kumpulan Cerita Pendek] Setiap orang pasti memiliki playlist lagu favoritnya masing-masing. Dan, di balik lagu yang selalu kalian dengarkan itu, tersimpan cerita khusus yang mungkin akan membuat kalian berpikir, "Wah ini gue banget. Cocok sama lagu...