Satu

70 7 5
                                    

"Aku ingin berpisah."

Aku benar-benar terkejut mendengar permintaannya. Aku tidak pernah mengharapkan dia mengucapkan tiga kata itu padaku. Aku hancur pagi ini. Kepalaku mendadak pusing dan pandanganku menjadi kabur. Mataku berkaca-kaca, dan setetes demi setetes air mata membasahi pipiku.

Aku berusaha menjangkau kursi meja makan lalu duduk bersandar, mengatur nafas, dan berusaha membujuknya.
Belum sempat aku berbicara, ia melanjutkan perkataannya.

"Aku pikir ini keputusan yang terbaik bagi kita berdua."

Dengan suara halusnya ia mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan menusuk hatiku itu. Aku selalu suka suara dan tawanya. Suara yang membangunkanku setiap pagi dan bisikan yang kudengar sebelum tidur. Namun pagi ini sangat berbeda. Suara halusnya terdengar datar dan sedikit terisak.

Setelah itu ia memutuskan sambungan teleponnya dan memutuskan hubungan kami berdua.

Bagaimana bisa ia berpikiran bahwa perpisahan merupakan yang terbaik bagi kami?
Setelah semua yang kami lalui bersama ia memutuskan untuk berpisah?
Apa yang salah dengan kisah cinta kami selama ini?
Begitu banyak pertanyaan yang muncul, namun hanya dia yang tahu jawabannya.

Beberapa menit kemudian pikiranku kosong menatap televisi yang tak bersuara. Kicauan burung atau suara kucing peliharaan kami pun tak kudengar lagi. Hanya perkataannya tadi yang terus saja menggema di telingaku.

Kaki dan tanganku bergetar hebat. Tak kusadari telepon genggamku telah jatuh ke lantai hingga retak layarnya. Aku tak peduli lagi.

Langkahku berat dan bimbang menuju tempat tidur.
Kucing peliharaan kami mengikutiku sambil mengelus manja di kakiku.
Aku duduk di pinggir kasur dan tertunduk lesu.

Aku tak percaya dengan ucapannya barusan. Aku tidak percaya bahwa yang tadi ingin berpisah denganku adalah dirinya. Dia yang kukenal selama ini tidak seperti itu. Sesuatu membuatnya berubah dan aku tidak tahu apa itu.

Aku melirik ke potret dirinya dalam bingkai foto yang kami buat sendiri berhiaskan kerang-kerang cantik.
Kuambil dengan perlahan fotonya yang berada di atas meja kecil di sebelah tempat tidur.

Senyumnya adalah senyuman paling indah di dunia ini. Aku ingat memotretnya dengan kamera polaroid.
Potret dirinya berlatar belakang pasir pantai dan puluhan pohon kelapa yang bergoyang ditiup angin laut.
Rambutnya yang tak diikat pun tergerai, menari-nari perlahan dihembus angin.
Sinar matahari senja terpantul di kedua bola matanya yang indah.
Senja dan dirinya adalah keindahan yang teramat sangat sore itu.

Waktu itu dia mengajakku mengikuti sebuah seminar yang diadakan oleh sebuah perusahaan asuransi. Teman wanitanya yang bekerja di sanalah yang mengundangnya.
Seminarnya bertemakan rahasia keharmonisan rumah tangga. Kebanyakan peserta seminarnya adalah para pasangan suami-istri berusia paruh baya. Hanya aku dan dia pasangan yang paling muda diantara mereka.

Berjam-jam aku duduk di kursi sampai kesemutan kedua kakiku. Sedangkan dia duduk di sampingku, sedari tadi dengan serius memperhatikan setiap slide dan setiap perkataan sang moderator. Sesekali ia mencatat dan mencubitku jika aku hampir ketiduran.

Sang moderator tampaknya sangat menikmati pekerjaannya. Ia bahagia dapat memberikan wejangan dan tips agar rumah tangga orang lain juga bahagia. Kebahagiannya tampak melalui senyumannya. Senyum Bapak itu cerah dan lebar sekali, sampai kelihatan gigi-giginya yang kuning. Kepala plontosnya itu juga secerah senyumannya dengan rambut tipis berminyak di sisi kiri dan kanan kepalanya. Sinar lampu memantul di kepala licin Bapak itu setiap kali mengganti slide dan tersenyum manis ke arah penonton, memaksaku melindungi kedua mata dengan brosur dari sinar yang menyilaukan itu.

IKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang