"Selamat malam, Tuan," sapa seorang pelayan padaku.
Aku membalas sapaannya dengan senyuman ramah.
Penampilan pelayan restoran ini sungguh mengesankanku sejak hari pertama aku membawanya ke mari.Aku melangkah ke meja paling pojok, dekat dengan jendela dan pemusik yang menggesek sebuah biola.
Ia melantunkan lagu "Cristallize" yang dipopulerkan oleh Lindsey Starling.Terlihat jelas tulisan "Reserved" di atas meja yang kutempati ini.
Kami memang sudah berjanji untuk bertemu di restoran ini.
Entah kenapa beberapa hari yang lalu ia menelponku dan mengatakan ingin sekali makan malam di restoran ini.
Aku lalu memesan meja karena aku merupakan salah satu pelanggan tetap di restoran ini.
Selain itu, ia bilang ada sesuatu yang sangat penting untuk disampaikannya.Awalnya aku menawarkan diri untuk menjemput dia di rumahnya, tapi entah kenapa dia bersikeras menolak.
"Aku tidak ingin menganggumu. Aku tahu kamu masih banyak pekerjaan di kantor. Aku akan di antar oleh Papa." Begitu alasannya.
Aku hanya memaklumi jika seorang putri ingin lebih dekat dengan ayahnya.
Aku menunggunya datang sambil bersenandung mengikuti irama lagu yang dilantunkan oleh sang pemain biola.
Pemain biolanya adalah seorang gadis muda.
Mungkin sekitar dua atau empat tahun lebih muda dariku.
Sudah cukup lama mengamatinya bermain dan menurutku ia lumayan berbakat dan memiliki masa depan yang cerah di dunia musik.Aku sendiri tidak terlalu ahli dalam bidang musik. Suaraku berat namun cempreng jika bernyanyi. Walaupun begitu, aku bergabung dengan kelompok paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu pujian dan rohani. Kami biasa berkumpul setelah pulang ibadah minggu pagi.
"Suaramu sangat bagus," pujinya suatu hari ketika mendengar penampilan soloku dalam suatu acara gereja di salah satu hotel di kota kami.
"Aku suka. Suaramu seperti suara seorang penyanyi profesional."
Aku mencubit pipinya karena menganggap pujiannya seperti sebuah sindiran. Pipinya yang bulat dan kenyal seperti bakpao memang sering kucubit secara halus ketika ia bersikap menggemaskan.
Dia selalu tampak menggemaskan di setiap situasi.Aku sendiri hanya dapat bermain satu alat musik, yakni gitar.
Suatu sore yang mengesankan kala itu saat aku baru kelas 8 SMP.
Tulangku memperkenalkanku dengan gitar.
Tulangku memang sangat pandai dalam bermain gitar.
Kata Mama, dulu dia pernah membentuk band rock yang cukup terkenal di kota kami saat masih kuliah dulu.
Namun Tulangku menghentikan sementara karirnya sebagai musisi karena dipaksa oleh ayahnya, yaitu Oppungku sendiri untuk fokus dengan kuliahnya dan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.
Bahkan Oppungku sudah menyiapkan sebuah posisi sebagai manager di perusahaan kelapa sawit miliknya di Dumai."Selesaikanlah dulu kuliahmu itu, musik konyol itu hanya membuang-buang waktu berhargamu." desak Oppungku pada Tulangku kala itu.
"Bermain musik bisa kapan saja, namun waktu kuliah itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya."
"Posisi sudah kusiapkan di Dumai, gajimu pasti lebih dari cukup, swmua fasilitas kusediakan untukmu." Tawar Oppungku kepada Tulangku.
Namun, ia keras kepala.
Ia mengabaikan ceramah dosen, merobek lembar skripsinya sendiri, dan meninggalkan kampus untuk selama-lamanya.
Tulangku menemui teman-temannya di studio mereka dan kembali bermusik.
Bandnya sukses dan manggung di banyak kafe dan acara musik.Oppungku sampai saat terakhirnya, tidak sedikitpun sudi berbicara dengan anak terkecilnya itu.
Tapi, Tulangku bernyanyi untuk Oppungku di acara pemakamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKA
RomanceSemua manusia pada akhirnya akan merasakan yang namanya jatuh cinta. Pun risiko dari jatuh cinta itu sendiri adalah sakit, semua pahit manisnya harus dicicipi. Ada yang jatuh cinta, dan enggan bangkit lagi karena cintanya yang terlalu dalam dibalas...