Dua

43 7 3
                                    

"Idemu cukup bagus dan cukup gila menurutku," ucap Fred mengutarakan pendapatnya mengenai rencanaku.
Awalnya ia tak setuju, namun setelah berpikir dua kali mengenai hadiah yang akan kami dapatkan nanti, ia sepakat kepadaku.

Sementara Stef mengangguk-angguk takzim setelah kuberitahu bahwa rencana kali ini akan sukses besar. Dapat kutebak dia sedang membayangkan adegan kejar-kejaran dan wajah para guru tersenyum padanya. Tampak ia meloncat-loncat kegirangan.

"Kapan sekiranya kita akan menjalankan rencana ini?" tanyanya halus kepadaku.

Aku berdiri tegap dari kursiku dan menatap mereka semua.

"Besok,"
"Besok kita akan mengubah pola pikir dan perilaku warga sekolah ini ke arah yang lebih benar, sesuai dengan ajaran budi pekerti dan aturan agama!" teriakku penuh semangat.

Hadirin bertepuk tangan. Bahkan Stef bersuit-suit mendengar perkataanku.

Awalnya aku berpikir. Apa yang bisa dilakukan anak kelas dua sekolah dasar, yang belum khatam perkalian dan masih menggunakan jarinya untuk operasi penjumlahan angka untuk mengubah perilaku orang lain?
Mudah saja menurutku.
Siapapun dia, tidak memandang berapapun usianya, ketika melihat sesuatu yang salah dan buruk haruslah kita menegur dan menasihatinya.
Dengan kata lain di umur yang masih belia, dimana manusia-manusia dewasa lebih mempercayai perkataan anak-anak, kami dapat memanfaatkan situasi ini.
Singkat kata : pengadu.

Dan di sekolah kami yang tercinta ini, moral pelajar mulai menurun akhir-akhir ini.
Dengan mudah didapati, segerombolan siswa kelas atas melakukan kegiatan ilegal di belakang gedung sekolah.
Mereka, atau dalam kasus ini para pelaku adalah para siswa kelas lima dan enam, yang sebentar lagi menamatkan pendidikan dasarnya dan mencoba-coba kegiatan orang dewasa secara diam-diam.
Kegiatan ilegal dan tidak mencerminkan Dasa Dharma Pramuka yang mereka lakukan tak lain dan tak bukan adalah perjudian.

Awalnya hanya bermain kartu biasa, yakni kartu bergambar tokoh anime Naruto atau para pembasmi monster Power Rangers.
Kartu tersebut diletakkan di telapak tangan, lalu di tos ke tangan lawan. Jika gambar sang tokoh menghadap permukaan tanah, maka berarti kekalahan. Namun, jika depan kartunya menghadap ke langit, kemenangan dan kebanggaanlah yang didapatkan.
Biasanya yang kalah harus memberikan satu kartunya kepada sang pemenang.

Aku, Fred, dan Stef senang bermain kartu ini saat jam istirahat.

Aku dan Stef tidak terlalu jago sehingga kartu kami sudah habis sebelum jam istirahat berakhir.

Namun sepulang sekolah kami akan menghambur ke lapak pedagang mainan di depan sekolah untuk memilih-milih kartu.
Kami habiskan uang jajan demi kartu tipis yang sebenarnya tak bernilai harganya ini, namun menjadi permainan yang mengasyikkan di kala istirahat.

Stef biasanya membeli kartu bergambar Sasuke dari serial Naruto atau gambar Ultraman yang sedang membasmi monster. Kadang dia bermain sambil memperagakan gerakan karate Ultramen saat melawan monster buruk rupa yang hanya ingin menghancurkan Jepang saja kerjanya.

Aku memborong kartu bergambar Spongebob dan kawan-kawan karena menurutku kartun itu sangat lucu.

Fred membeli kartu bergambar monster-monster Pokemon yang lucu-lucu.

Sedangkan Johan kadang meminta beberapa kartu kami karena Ia malu semua kartunya bergambar Barbie dan Power Puff Girls.

Dika tak sungkan bermain kartu bergambar Barbie sehingga Ia kadang tidak mendapat lawan karena sebagian besar pemain tidak ingin bermain melawan siapapun yang memiliki kartu bernuansa feminim.

Permainan ini dibutuhkan ukuran telapak tangan proporsional, kekuatan dan ketahanan tangan, kualitas kartu yang digunakan, dan arah angin.
Fred juaranya dan memborong banyak kartu.

IKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang