💌
“Kamu—Sam?”
“Ya, aku Samuel.” Dia menyahut dengan tampangnya yang datar. Ada sedikit keraguan yang aku tangkap dari gelagatnya.
Aku masih mengingat jelas wajah tirusnya, mata hazel birunya, gelang nama serta kalung yang dipakainya. Semua itu ada pada sosok yang sedang berhadapan denganku saat ini. Tapi entah mengapa, ada yang berbeda, atau mungkin hatiku yang mulai salah menebak. Melihatku terdiam, dia mulai bertanya lagi.
“Kenapa? Ada apa? Kamu tidak menginginkanku lagi?”
“Tidak, bukan seperti itu. Jangan mencoba mengelabuhiku. Kamu bukan Samuel. Benar, kan?” Entah mengapa, hatiku yang menuntun untuk bertanya seperti itu. Rasanya, ada yang ganjil. Mendengar pertanyaanku, sosok dihadapanku itu terkejut bukan main.
“Rupanya aku tidak bakat berbohong. HAHA.” Dia tertawa dan memijit tulang hidungnya. Jelas sekali dia bukan Samuel. Samuel yang aku kenal, dia akan memijit telinganya saat ketahuan berbohong.
“Aku Daniel, kakak Samuel. Kami kembar identik.”
Aku terdiam, yang bisa aku lakukan hanya mengerjapkan kelopak mataku beberapa kali. Mengumpulkan keberanianku untuk bertanya lebih lanjut.
“Kalau kamu Daniel, lalu dimana Sam? Cepat beritahu aku dimana dia.” Aku menghunusnya dengan tatapanku yang terkesan menuntut jawaban.
Dugaanku tepat sasaran, dia bukan Samuel yang kunantikan. Jantung yang aku kira berhenti berdetak, malah sebaliknya, berdetak jauh lebih cepat layaknya derap kaki kuda yang berlari untuk bertempur. Seolah masih ada harapan, lewat hadirnya Daniel, aku akan menemukan Sam. Aku mengambil paksa kemeja flanel Daniel yang tertutupi jaket dengan kedua tanganku. Aku meremas kemejanya hingga rasanya pertahananku runtuh dan kakiku jadi lilin yang meleleh terpercik api ketika dia berkata, “Sebenarnya selama ini, Sam.. dia sakit. Ataxia.”
“A—Apa?”
Bagaimana aku tidak terkejut saat mengetahui jenis penyakit itu. Dulu, kakekku pernah terkena Ataxia dan beliau meninggal saat berumur 63 tahun. Hal itu membuatku merasa sangat kehilangan. Ataksia Friedreich; adalah ketidakmampuan tubuh memproduksi protein frataxin, protein yang bertugas mengatur aliran zat besi dalam sel saraf, yang disebabkan karena terjadinya mutasi pada gen GAA. Pada kelainan ini terjadi penumpukan zat besi di dalam sel saraf yang kemudian menyebabkan kerusakan sel. Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
“Sam divonis sakit beberapa tahun terakhir saat dia telah kembali dari Amerika. Dia sangat merindukanmu dan berencana menemuimu saat itu, tapi dia tidak sanggup. Apa yang harus dia katakan padamu ketika kalian bertemu, Sam pikir dia akan menunda pertemuan kalian sebentar lagi.” Daniel menghembuskan napasnya kasar. “Ternyata keputusannya untuk menunda pertemuan kalian malah membuatnya hilang kepercayaan diri saat dokter menyatakan kakinya lumpuh. Dia tidak ingin kamu melihatnya dengan keadaan seperti itu. Dia bahkan menganggap dirinya sendiri mengerikan.”
“Jadi, karena itu setelah kembali dari Amerika, bukannya menemuiku dia malah menyuruhku pergi dari kehidupannya dan menghilang tanpa jejak?” Aku tidak bisa lebih lama memendam pertanyaanku yang tentu saja membutuhkan jawaban segera.
Daniel mengangkat kepalanya, lantas menunduk dan mengangguk seiring matanya yang menatap nanar wajahku yang kian memucat.
“Maafkan aku yang berusaha mengelabuhimu dengan menyamar sebagai Sam. Sam yang menginginkan ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Tapi rupanya kamu cukup cerdas dalam mengenali seseorang, yang kembar identik sekalipun.”
Daniel menunduk, sama halnya denganku.
“Maaf juga karena aku selalu menguntitmu tiap kali kamu datang kesini. Saat melihatmu dan berkata bahwa kamu menyerah dan melupakan Sam, rasanya aku turut merasakan bagaimana perasaan Samuel nanti saat dia mengetahuinya.”
Perlahan aku bisa memahami perasaan Daniel. Tapi saat ini justru aku yang tidak bisa memahami perasaanku sendiri. Aku tidak bisa mengelak bahwa aku masih mengharapkan Sam.
“Tolong, jangan lupakan Sam. Dia sangat menyayangimu. Dia juga bilang padaku, menyuruhmu untuk jangan menangis. Asal kamu tahu, bukan hanya kamu yang merasakan kesedihan, tapi Samuel juga. Dia menyendiri di pojok ruangan tiap malam dengan kursi rodanya, dan aku sering mendapatinya menangis saat membaca surat-suratmu.”
Tanpa kusadari, mataku sudah tidak sanggup menampung lebih lama lagi kristal-kristal bening yang bergumul di pelupuk mataku. Pada akhirnya, pipiku kembali basah dan hatiku tidak sekuat yang aku kira.
💌
Letter for Samuel
July, 29.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter for Samuel
Krótkie Opowiadania[SELESAI] "Tidak pernah terselip rasa lelah untuk mengirimu surat, yang entah kamu baca atau tidak. Hanya dengan begitu aku bisa berbincang denganmu, mencurahkan betapa berat hari-hari yang aku lalui tanpa hadirmu. Aku merindukanmu, Sam. Sangat mer...