Chapter 2. Koleksi

27 0 0
                                    

Segala hal benar-benar berubah, tidak ada lagi kerjasama tim, merancang strategi, atau penggabungan kekuatan power ranger. Kami tidak sering bermain bersama lagi. Mia dan Shinta masih sering terlihat bersama, tapi terkadang mereka asik dengan masing-masing teman barunya. Huda sangatlah pendiam, ketika ia berbicarapun seringkali berbisik atau sesuatu yang tidak kumengerti. Kali ini, Ia yang seringkali mengikutiku kemanapun, bukannya bermain dengan teman seumurannya.

Tidak banyak yang aku ketahui tentangnya. Tentang benjolan mirip tumor yang ada dibagian bawah telinganya, tentang apa yang ia derita, karena aku tahu ia juga sering diantar ke dokter. Aku hanya diberitahu ada gangguan saraf padanya sehingga ia tidak seperti anak seusianya. Orang-orang lebih mudah untuk mengatakan bahwa ia idiot hanya karena sulit membaca dan menunjukkan sikap yang berbeda dengan anak lain, tetapi sekarang aku merasa ia hanya menderita disleksia. Pernah suatu waktu saat usianya sepuluh tahun ketika pembagian rapor atau laporan hasil belajar, ia sangat merasa bangga dengan berlari dan menyombongkan diri karena telah menjadi peringkat dua puluh lima dari dua puluh lima murid. Sejak saat itulah ia disebut idiot.

Sejak Huda masuk SMP, masa kecilku kemudian lebih sering dihabiskan dengan alam, sekitar daerah rumah tentu saja, dimana banyak kebun, sawah, sungai, dan kolam. Benar-benar tidak terpapar teknologi. Menghabiskan seharian hanya untuk menangkap capung ataupun kupu-kupu dengan tongkat kayu yang ujungnya diikat dengan plastik yang dibiarkan terbuka berkembang sebagai alat untuk menjebaknya. Atau menangkap ikan kecil yang biasa dikenal impun dengan alat saring perabot dapur milik ibu. Atau menyaksikan undur-undur dan laba-laba yang aku beri mereka santapan dijebakan yang telah mereka buat. Terkadang juga menangkap jangkrik, kunang-kunang, serta segala macam kumbang dan belalang untuk kemudian aku tempatkan ditoples yang berbeda-beda sebagai koleksi. Pernah pula menangkap ular kecil yang lemah setelah bertarung dengan kucing. Merupakan hal keji yang telah aku lakukan pada mereka, mengurungnya hingga sebagian mati atau akhirnya dilepaskan saat mereka lemah, walaupun aku memang sudah mencoba memberi mereka makan dengan ketiadaktahuanku apa yang seharusnya diberikan. Bahkan aku benar-benar merasa menjadi psikopat ketika merasa senang menekan perut induk ikan impun yang bunting untuk sekedar melihat bagaimana anak-anak ikan itu berenang, memaksa ia melahirkan sebelum waktunya, yang pada akhirnya anak-anak ikan itu hidup namun induknya lemah hingga mati.

Pencapaian terbesarku ialah menangkap jenis capung tak biasa. Berwarna putih, dimana pada umumnya berwarna hijau, merah, oranye, hingga biru yang merupakan jenis cukup langka pula. Ia hanya muncul saat sore hingga petang terbang cepat bolak-balik diatas permukaan kolam. Ia terbang seperti jet jika aku asumsikan capung pada umumnya mirip pesawat. Aku menangkapnya dengan jala ikan. Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang mengisi masa kecilku, tidak bersosialisasi dengan anak lain. Bahkan hingga beberapa kali jatuh ke kolam dan dan tenggelam karena aku tidak bisa berenang.

Tidak ada usaha sama sekali untuk melawan kesepian. Aku sungguh menikmatinya saat itu. Pun tidak ada usaha sama sekali untuk melepaskan kepergian Hiro, tidak merasa bersedih, inilah kemudian yang membuat aku trauma karena sungguh merasa bersalah. Bisa-bisanya aku tidak bersedih, dimana Mia dan yang lain menggila karena kehilangannya. "Teman macam apa aku?", pikirku. 

THICK AS THIEVESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang