Chapter 3. Harapan Anak Bodoh dan Masa SMP

33 0 0
                                    

Setelah kematian Hiro, aku menghabiskan jam istirahatku dengan cara yang tidak jauh berbeda dibandingkan saat sebelumnya bersama Hiro. Aku tetap tidak pernah mencoba bermain sepakbola dan tidak pernah jajan di sekolah dasar. Yang berbeda adalah aku tidak menggambar-gambar lagi di atas pasir, tapi aku melakukan hal lain. Saat jam istirahat biasanya aku tetap diam dikelas, tapi juga kadang menonton anak-anak laki-laki bermain sepakbola ataupun anak perempuan yang bermain softball dengan berdiri memeluk perut sendiri persis seperti posisi berdiri dalam ibadah sholat. Sampai-sampai seringkali guru-guru dan anak-anak lain melontarkan candaan dengan bilang, "Adnan, ngapain kamu sholat disana" diselingi dengan tawa mereka. Mungkin itu mengingatkanku pada Hiro saat menunjukkan perutnya yang penuh jahitan. Namun sebenarnya itu hanya kebetulan. Tidak ada seorangpun yang berpikir itu adalah bentuk rinduku padanya, termasuk diriku sendiri.

Aku memang bodoh. Bisa-bisanya tidak merasa sedih sedikitpun. Aku merasa yakin Hiro masih ada dan nanti aku tetap bisa ketemu lagi, Ia mungkin hanya pergi ke dokter, pikirku. Ini seperti otak-ku tidak bekerja melalui cara yang sama dengan otak milik anak normal. Atau ini karena aku tidak paham konsep kematian. Atau ini adalah caraku untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia masih hidup. Atau mungkin ini hanya sebuah harapan dari anak yang bodoh.

Ingatan tentangnya perlahan-lahan terlupakan. Ada kawan yang lain, meskipun tidak akan ada kawan sehebat Hiro. Namanya Indra, teman sebangku, juga ketua kelas, dan seringkali mengajakku mengganggu dan menjahili anak-anak perempuan. Aksi itu menjadi perubahan besar pada sikapku sehingga guru-guru pun khawatir. Pak Ateng (32 tahun) menghampiri kami berdua, "Kalian akan bapak kirim ke Pesantren" dengan nada bercandanya. Saat itu aku kelas enam dan belum berpikir akan melanjutkan ke SMP mana. "Nan, kamu 'kan ranking 1 terus tapi masa nakal begini, Indra juga jangan ngajarin si Adnan", omelnya.

***

Entah bagaimana cara kerja otak-ku, dengan menganggap persahabatan adalah segalanya. Setelah Indra memutuskan untuk melanjutkan ke MTs, akupun ikut-ikutan, dengan alasan konyol hanya ingin melanjutkan ke sekolah yang sama dengannya, aku bahkan tidak paham apa bedanya SMP dengan MTs, tidak pula mencoba bertanya. Benar, aku tidak memiliki inisiatif, aku tidak merasa penasaran, aku tidak berpikir kritis, hanya karena aku percaya aku akan baik-baik saja jika aku bersama kawanku. Ibu dan ayahku yang religius tentu saja merasa senang, karena kakak-kakakku yang lain tidak ada yang melanjutkan ke pesantren.

Lingkungan pesantren benar-benar berbeda dari lingkunganku sebelumnya. Sikap disiplin, mandiri, dan kegiatan yang banyak benar-benar menciptakan santri-santri yang hebat. Disini aku merasa banyak belajar, tentang cara berbicara didepan publik dengan secara rutin terdapat pelatihan untuk menjadi da'i, metode menghafal, pengetahuan agama, maupun pengetahuan umum yang sangat banyak didapatkan. Aku tidak mendapatkan kesulitan menjalani kondisi lingkungan yang baru seperti ini, berbeda halnya dengan Indra, Ia mulai merasa tidak betah ditambah kemudian ia sakit cacar air cukup lama menjadi alasan ia pindah sekolah.

Ibuku kemudian menegaskan agar aku punya prinsip dan tidak ikut-ikutan teman. Aku mencobanya, namun ada hal lain yang menggangguku dan membuatku ingin pindah sekolah. Ialah aku belum bisa hidup mandiri saat itu dan tidak nyaman dengan kondisi asrama. Terdapat hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi di asrama, seperti uang dan barang pribadi yang hilang dan dalam sedikit orang-orang yang aku ketahui memiliki orientasi homoseksual. Tidak ada apapun yang terjadi padaku karena aku menolak dan mengancam melaporkannya. Aku tidak paham apapun tentang seksualitas pada usia itu, memang benar-benar belum dewasa -secara hormonal- ketika anak lain seumuranku sudah mengalami fase mimpi kopulasi. Aku juga tidak begitu peduli, hanya saja aku tidak akan pernah mau diganggu.

Akupun mencari alasan kuat lain agar aku dipindah-sekolahkan. Ialah ketika kakak kelasku, Gia (14 tahun, laki-laki) yang sangat suka bercanda dan kadang jahil. Ketika ia mempraktekkan aksi gulat Smackdown dan mulai menakut-nakuti santri lain dengan sikap bercandanya, aku berpura-pura kesakitan dan menangis karena kena tendangnya, dan itu cukup berhasil meyakinkan Ibuku agar aku pindah sekolah. Aku membuat Ia dihukum. Benar, itu hal jahat yang pernah aku lakukan.

Di sekolah yang baru juga tidak dijamin lepas dari hal-hal tidak menyenangkan, bahkan mungkin saja bisa lebih buruk. Aku terlambat menyadarinya. Dan benar saja, terdapat tindakan-tindakan bully oleh beberapa siswa, bahkan seringkali mereka memaksa siswa dan siswi lain untuk mengerjakan tugas pribadinya. Tentu saja sebagai murid pindahan menjadi sasaran empuk, namun saat itu aku melawan dan mengancam melaporkannya. Dampaknya hanya dijauhi saja oleh siswa lain yang preman-preman kelas ini suruh juga, karena mereka jadi imbasnya. Cukup beruntung bagi diri sendiri. Namun sekali lagi, memperburuk kehidupan sosialku hingga trauma dari rasa bersalah terhadap Hiro mulai muncul kembali, ingatan saat kami saling berselisih.

DB>

THICK AS THIEVESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang