Lalu gerimis kembali membuat aku menyerah pada sembilu, yang kerap menghujam kelakar-kelakar yang mengakar. Lebur lagi hancur. Lahirnya aku di April yang terik, semestinya membuat aku paling tidak bisa gembira saat dia kembali. Ini April yang keberkian kali, dan bibirku sedan menggugu. Perihal pulang, perihal yang nyata. Perihal yang meresahkan hati durjana. Tentang hati, tentang ilusi yang mengawang tinggi. Jarak yang tak tentu. Rindu yang belum pernah terjamah. Pundak yang dulu dan entah. Semuanya terekam dan mencekam. Lekas, aku harus berbenah. Menggali lagi asa yang terkubur juga meninggikan benteng yang kerap tertidur. Aku lupa. Semua tak pernah sama. Hilang arah. Hilang sandaran. Nyeriku apik dalam satu memoar. Juga memar. Lagi barbar. Dan biarlah, mungkin nanti April berbahagia lagi.