Sapuan Satu; Kucing Lusuh

187K 14.6K 2.3K
                                    

Dari matamu kutemu kelabu yang begitu pilu, yang mengurung senyummu, dan menjadikanmu bisu ... dan dari situ, kutemu juga diriku.

***

30seconds.

Mega sudah melafalkan banyak doa, termasuk surat yasin walau cuma beberapa ayat, berharap dengan begitu kesialan yang menempel di tubuhnya pergi.

Mega juga sudah membaca banyak artikel tetang band yang memiliki empat personil itu. Isinya kebanyakan sama; tentang kesuksesan mereka memenangi lomba, juga konspirasi lirik lagu mereka yang meromantisasi kehilangan, jarak, dan rasa sakit.

Katanya, 30seconds mengambil jiwa pendengar melalui liriknya. Dari sana, nama mereka semakin tinggi, hingga banyak dicari, entah untuk kerja sama brand, atau mengisi panggung-panggung seni ... seperti yang Mega lakukan saat ini.

Masalahnya selain kedua hal itu, Mega benar-benar belum mempersiapkan diri.

Sosial media 30seconds seperti mati, hanya ada foto panggung hitam-putih, juga jadwal pentas dan perilisan lagu. Tak mendapat apa-apa, Mega memutuskan datang dengan informasi terbatasnya, juga mengadu kemampuan ngeles-nya.

Sayangnya, Mega tidak pernah tau bahwa mereka sesulit itu.

Bayangkan saja, sisa air hujan bahkan masih memeluk Mega, tapi orang di hadapannya enggan mematikan pendingin ruangan yang bahkan berada tepat di atas kepalanya.

"Nggak gue matiin nggak apa-apa, kan? Nanti engap studionya," katanya saat itu, yang langsung Mega artikan sebagai deklarasi perang.

Namanya Doris, suaranya saat berbicara ternyata lumayan merdu. Pantas dia menjadi vokalis, walau keji dan bengis.

Sebagai tamu yang tahu adab, Mega hanya bisa mengagguk pasrah. Ia mencoba mengabaikan giginya yang bergeletuk menyaingi tabuhan drum tak beraturan dari lelaki dengan hoodie hitam, yang belakangan Mega tau bernama Haidar.

Lagipula, siapa yang masih bisa bermain drum di tengah pertemuan seperti ini?

Belum selesai di sana. Di sudut ruang, seseorang dengan celana training abu-abu dan jaket senada ajaibnya bisa terlelap, meski harus berbagi tempat dengan tumpukan kaleng cat.

Dan yang paling tidak Mega mengerti, kenapa mereka harus membahas tentang kerja sama di sini—di studio yang bahkan hanya tersedia satu sofa beledu panjang, tanpa meja, juga tanpa ketenangan yang sebenarnya sangat Mega butuhkan ini?

"Solitude Fest," gumam Doris, seraya membolak-balik lembar proposal bersampul biru di tangan tanpa atensi yang berarti, "kalian pengin kami bawain lagu apa di sana nanti?"

Mampus ... beneran mampus.

Mega menarik senyum untuk menutupi ketidak tahuannya. Boro-boro lagu, nama personilnya saja belum sempat ia hafal.

"Untuk pemilihan lagu, kami serahkan penuh ke pihak band—"

"Yakin?" potong Doris. "Jangan-jangan lo ke sini tanpa tau lagu kami? Atau malah lo nggak tau nama-nama kami?"

Sumpah, Doris seperti paranormal yang bisa membaca isi kepala si lawan bicara. Ekspresi Doris tak terbaca, dan sejenak Mega bisa merasakan sindiran di kalimat itu, andai saja Doris tidak segera menarik senyum dan melanjutkan kalimatnya.

Lukisan Tentang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang