Di matamu kutemu angkasa yang penuh rahasia, di genggammu kutemu harap yang tak kauucap, dan di rengkuhmu kutemu aku yang mulai tersesat
*
Mega tidak percaya pada keajaiban. Kata itu hanya omong kosong, juga harap berisi doa-doa yang enggan didengar Tuhan. Sebab, tidak ada keajaiban yang bisa memutar waktu ke pagi di mana suara siulan panjang teko Bunda menggema ke seisi rumah, juga langkah tergesanya yang akan disambut omelan gemas Ayah.
"Keasikan ngelukis, kan, kamu sampai lupa kalau lagi rebus air." Ayah akan menghela napas panjang, lalu menatap Bunda yang justru memasang senyum termanisnya. "Kalau saya tidak ada, terus tekonya meledak dan seisi rumah kebakar gimana?"
"Yaudah kita nanti tidur di sisa reruntuhannya. Romantis, bisa sambil lihat bintang."
Tidak akan ada keajaiban yang bisa membawa Mega duduk di sana, melihat Ayah yang tersenyum lepas seraya meraih jemari Bunda dengan tatap yang tak lepas.
"Saya nggak mau tidur di atas arang dan sisa reruntuhan gitu, Anna."
"Walau itu sama aku?"
"Bukan gitu ...."
"Jawab dulu, Ivan."
Keras dan tegas Ayah yang akan selalu kalah oleh genggam lembut tangan Bunda. Untuk Bunda, Ayah akan selalu mengatakan iya, untuk Bunda ... Ayah akan memberi dunianya.
Kadang, Mega heran bagaimana mereka bisa bersama. Kadang, Mega juga bertanya, apa kelak ia akan menemukan cinta sebesar itu di dunia?
"Saya nggak akan tega biarin kamu kesusahan begitu, tapi karena kamu jadi raguin saya begitu, ayo kita bakar sekarang aja rumahnya, biar kamu tau, asal sama kamu, saya nggak apa-apa."
"Aku juga! Asal sama kamu, aku baik-baik aja," ucap Bunda dengan senyum berseri, yang ternyata hanya dusta ... karena dia memilih tiada.
Rengekan manja Bunda, tawa hangat Ayah, dan perdebatan kecil keduanya akan selalu menjadi sepiring sarapan kesukaan Mega. Menu yang tidak akan pernah bisa kembali ia rasa, bahkan jika Mega menukar seluruh jiwanya.
Andai ada keajaiban untuk memutar waktu..
Sayangnya, tidak akan ada keajaiban untuk memutar waktu.
Setelah Bunda tiada, suara teko menjadi pengantar kenangan sedih. Raungannya yang dulu hangat berubah menjadi siksa yang bahkan tidak bisa digambarkan kata. Dan setelah Bunda tiada, banyak yang hilang dari hidup Mega.
Ayah tak lagi ramah, senyumnya tak lagi rekah. Dan kini Mega mengerti, Ayah tidak pernah kalah ... pada Bunda ia hanya mengalah, karena setelah kepergian Bunda, tidak ada lagi Ayah yang sebelumnya.
"Ayah, airnya udah mendidih."
Seolah tak peduli pada uap yang mengepul, juga tutup teko yang meronta, Ayah bergeming. Mega tahu Ayah tidak benar-benar di sana, saat beliau terkesiap dengan sentuhan Mega.
"Airnya udah mendidih," jelas Mega, seraya mematikan kompor. "Ayah mau buat kopi?"
Ayah mundur dengan desah napas yang terdengar menyakitkan. Jemarinya meraih mug putih bergambar awan yang pernah Bunda lukis, dan bukannya menjawab, Ayah justru bertanya, "Kamu mau ke mana?"
Ayah memindai Mega dari kepala sampai kaki, sampai Mega salah tingkah sendiri.
"Charity Concert itu lagi?"
"Enggak."
"Tas kamu?"
Satu alis Ayah terangkat, seolah curiga kalau Mega membawa uang untuk minggat satu bulan, atau malah seisi lemarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Tentang Langit
Romance[BOOK 2] Seperti kanvasku, kamu dingin dan datar. Seperti kanvasku, kamu kosong, tak ada noda, tak ada warna. Dan seperti pada kanvasku, aku mencoba memberi sentuhan di sana. Menorehkan biru juga jingga, serta merah menyala. Agar kau tau, hidup tak...