07 - Berawal Dari Sini

3.3K 248 23
                                    

Jum'at, 18 Juli 2014.

Jika diingat kembali, pagi itu, cuacanya sedikit hangat.

Bel masuk belum berbunyi. Para murid ada yang masih berkeliaran di kantin, lapangan, koridor sekolah. Anak-anak kelas 12 bahkan masih nongkrong santai di belakang sekolah sambil merokok disana.

Tak seperti biasanya, di kelas 10-1 tampak sangat ricuh dipenuhi oleh para cowok dari kelas lain terkecuali rombongan Aceng, Fauzan, Onjes dan antek-anteknya. Seolah mereka masih kian anti untuk menginjakkan kaki disana. Padahal, kemarin Onjes sempat membuat kegaduhan di kelas tersebut, yang kian hampir saja membuat Jampang mendatangi dirinya.

Dari luar, bahkan kelasnya terdengar sangat ramai. Jampang yang kala itu ingin memasuki kelas pun kian tampak sedikit keheranan. Jika tidak salah dengar, saat ini mereka sedang membicarakan penataran yang akan dilakukan sepulang sekolah nanti. Jadi, mereka semua sudah mendengarnya?

"Om baru dateng Om?" Sapa Deon dengan senyum lebarnya sambil menatap Jampang yang kini berjalan memasuki kelas. Seperti biasa, wajahnya terlihat masih ngantuk.

"Gue belom siap ketemu Alby, bangke." Ujar Paul mengeluh pada Jampang yang masih asik mengucek-ngucek belek dimatanya. Padahal, ini adalah pertama kalinya Paul mengajak ia bicara.

Tak disangka, Jampang pun langsung merespon ucapan Paul meski hanya dengan sebuah senyuman singkat, membalas sapaannya dengan kesan sedikit ramah.

"Lah emang ngapa?" Tanya Aga penasaran pada perkataan yang baru saja Paul katakan.

"Katanya, dia kaga suka sama bocah-bocah yang tampangnya tengil." Sahut Deon.

"Tahun kemaren aja katanya ada yang digamparin abis-abisan ama Alby cuman gara-gara dia berani ngeliatin Alby pas lagi ngomong." Lanjut Deon sedikit menceritakan salah satu cerita pengalaman penataran tahun lalu yang ia dengar dari salah satu temannya.

"Lah kalo kita gak boleh ngeliatin dia pas dia lagi ngomong, terus kita harus ngapain dong? Merem?" Keluh Paul sedikit sewot.

"Goblok bat, masa orang lagi ngomong, kita semua malah merem. Nyari mati banget ya kan." Keresahan Paul itupun sontak membuat beberapa anak disana kian terbahak-bahak karena membayangkannya.

"Lagian di angkatan kita kaga ada yang mukanya tengil kali. Santai aja." Ujar Deon mencoba untuk memberi sedikit ketenangan.

"Lah, ono noh." Gilang baru saja menunjuk Jampang dengan wajah ngeledek. "Mukanya Jampang kan tengil banget, ngeselin parah." Lanjutnya lagi sambil menahan tawa manakala matanya dan mata Jampang kian saling bertemu.

"Mukanya minta ditampol ya, haha." Sahut Paul menambahkan. Sedangkan Jampang sendiri hanya mengangguk malas, mengiyakan ocehan dari teman-temannya.

"Dikata jangan suka percaya ama omongan orang. Batu banget lo pada." Adam menghela nafasnya. "Ah payah dah. Mental ayam semua, cemen. Belom apa-apa udah pada takut." Lanjutnya lagi seolah ingin memprovokasi serta memotivasi.

"Bukannya takut Dam, ngeri aja kalo tiba-tiba ntar gue yang kena. Lo kan tau sendiri Alby gimana orangnya." Ujar Paul ketika mengingat kembali sosok pentolan Jomblang Rawan yang sangat menakutkan tersebut.

Rasanya Paul ingin berdecak kesal sendiri. Adam bisa santai dan bicara seenak jidadnya saja seperti saat ini karena anak-anak perkampungannya yakni Ledoya dan anak perkampungannya Alby adalah satu aliansi.

"Ya lo kan enak. Kampung lo dikenal orang. Kalo ada yang nyenggol dikit langsung bacok." Akhirnya Paul pun mengutarakan kekesalannya yang sudah tak tertahan.

"Kagak, udeh lo tenang aja. Gak usah panik gitulah. Dia asik kok orangnya, nyantai." Jawab Adam yang tak ingin memperpanjang masalah.

Adam tahu, saat ini mereka sedang merasa resah dan gelisah. Namun meskipun begitu, Adam seakan tampak tak kunjung lelah menenangkan hati mereka. Dia yakin, selama teman-temannya tersebut patuh dan menurut, maka mereka semua pasti akan baik-baik saja.

Tears DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang