Vivi mencoba menunggu kapan sosok menyeramkan itu kembali. Ia sungguh tidak tahan dengan semua yang telah terjadi saat ini. Vivi sangat merindukan kehadiran Dimas di sampingnya. Vivi butuh berkeluh kesah pada Dimas tentang apa yang telah terjadi selama ia menghilang.
Lelah menunggu, Vivi memutuskan untuk pergi mencari informasi keberadaan suaminya lagi. Sebelum pergi, Vivi mengisi perutnya terlebih dahulu karena sejak kemarin dirinya belum memakan apapun. Dengan lambat dan was-was, Vivi berjalan menuju dapur. Ia mengecek isi kulkas, namun ternyata kosong. Tidak terdapat apapun di dalam kulkas.
Vivi menghela napas pelan, ia melupakan bahwa mereka berdua belum berbelanja kebutuhan dapur, tidak heran kalau ternyata isi kulkas dan perbekalan sudah habis. Pandangan Vivi menyebar ke seluruh ruangan, mencoba mencari makanan yang tersisa dimana saja. Dan pandangannya menangkap beberapa roti di atas meja, dengan segera Vivi mengambil roti itu dan memakannya sampai habis.
Setelah puas memakan beberapa roti, Vivi kembali merasakan perasaan tidak enak mengelilinginya. Aura yang sama seperti kemarin kembali hadir, bulu kuduknya mulai berdiri. Vivi tidak siap bertemu sosok menakutkan itu lagi, ia lebih memilih berlari keluar dari rumah itu secepatnya. Mencoba mencari keramaian di kerumunan orang-orang.
Tangan Vivi bergetar hebat dan mengeluarkan keringat-keringakt dingin yang membuat tangannya basah seketika. Namun, degup jantungnya sudah mulai melaju normal, sehingga dirinya bisa mengendalikan rasa ketakutannya sementara. Karena tujuannya hari ini untuk mencari Dimas lagi.
"Pak tolong saya," ucap Vivi lirih dengan nada sedikit bergetar.
Seorang bapak-bapak tua yang dihampiri oleh Vivi pun berhenti dan menatap Vivi simpati.
"Ada apa nak?" tanya bapak itu dengan lembut.
"I–itu pak, nenek tua itu sudah menculik suami saya pak. Dan sekarang mungkin dia ingin membunuh saya..." Vivi mulai histeris, "Tolong saya pak!"
Vivi menggapai tangan bapak itu sembari menangis tersedu-sedu. Kini orang-orang di sekelilingnya menatapnya penasaran."Nenek tua? Ada banyak nenek tua di sini, mana yang kau maksud?" tanya salah satu pemuda menghampiri Vivi.
Vivi kemudian dengan tertatih-tatih menghampiri pemuda itu dengan penuh harap.
"Ne–nenek tua. Dia sa–sangat menakutkan. Ku–kulitnya, ku–kulitnya terkelupas dan—" suara Vivi mulai terputus-putus karena terlalu paranoid.
"Hei, Hei! Tenanglah!" pemuda itu terlihat tidak mengerti dengan penjelasan Vivi.
Vivi lalu mulai mengatur napasnya yang tersengal-sengal, dan kembali menjelaskan dengan perlahan. Namun, setelah ia menjelaskan dengan benar, orang-orang disekitarnya seraya mengejek menertawainya.
"Hei, tidak ada nenek tua seperti itu di sini. Mungkin kau hanya berhalusinasi," ujar pemuda itu dan akan segera beranjak pergi, namun Vivi menggapai tangan pemuda itu agar tidak pergi meninggalkannya.
"Kumohon, bantu aku!" jerit Vivi.
Pemuda itu menatap Vivi jijik, lalu menghempaskan tangan Vivi dengan kasar. Vivi sungguh merasa terpuruk, ia tidak tahan dengan serangkaian kejadianya yang semakin membingungkan ini.
***
Setelah berkeliling ke sana ke mari, Vivi masih belum juga bertemu dengan Dimas. Fisiknya lelah, batinnya juga lelah mencari. Pada akhirnya ia kembali ke vila dengan keadaan tidak karuan. Setelah mengunci pintu, Vivi berjalan menuju kamar mandi, bersiap membersihkan dirinya.
Senja sudah semakin menggelap, Vivi masih merasa ketakutan. Dengan was-was, ia mengecek setiap jendela, meyakinkan bahwa di dalam sini dirinya akan aman. Lambat-lambat digerakkannya kakinya menuju kamar tidur, lalu merangkak naik ke tempat tidur.