Apa dia homo?

116 17 2
                                    

Deol, Marco dan Gio duduk di satu meja saat makan siang. Ketiganya sama-sama makan gado-gado. Minumnya es teh manis. Ini awal bulan, mereka baru gajian beberapa hari yang lalu, kalau mau beli makanan yang lebih mahal juga bisa, tapi gado-gado jadi pilihan. Karena hari ini Gio yang traktir makan.

Tadi Marco sudah hampir mencabut dendam kesumatnya pada Gio saat pria itu menawarinya makan gratis. Marco sampai membayangkan menu western yang akan dipesannya, tapi tak lama kemudian bayangannya musnah ketika Gio mengatakan bahwa dia hanya mau membayari kalau mereka memesan gado-gado dan teh manis saja.

Sekarang dendam Marco makin membara pada teman sekantornya itu.

"Tumben lu traktirin kita gado-gado. Kenapa nggak cilok yang ada di gang sebelah aja?"

"Kenapa lu nggak bilang kalau mau makan cilok. Untuk beli cilok sudah dapat banyak, nih."

Marco senewen menghadapi Gio. Niatannya menyindir malah ditanggapi betulan. Lagi pula sudah menyatakan dendam, tapi masih menerima traktiran dari Gio. Dia sendiri yang kurang bersyukur.

"Tapi memang tumben banget. Memang ada acara apa, Gi?" tanya Deol yang setuju dengan Marco.

"Syukuran mobil baru gue itu," jawab Gio enteng.

"Nanggung. Traktiran gado-gado dan teh manis. Cuma kita berdua pula." Deol bukan orang tak tahu terima kasih. Juga bukan orang yang suka protes, tapi kali ini benar-benar di luar kebiasaan Gio.

"Bukan bermaksud pelit sama lu berdua. Gue nabung lagi, ada barang yang ingin gue beli." Gio orang yang suka menabung, sama dengan Deol. Kalau Deol menabung sebagian kecil, tapi Gio menabung sebagaian besar gajinya. Dibelai-belain hemat selama setahun, tabungan Gio sudah bisa dibelikan mobil. Kalau dia mau berhemat 20-30 tahun, mungkin bisa untuk membuka perusahaan sendiri. "Kalau mau traktirin gado-gado sama cewek-cewek, malu dong gue."

Marco dan Deol mendecih bersamaan.

"Kalau yang gue mau sudah terwujud semuanya, gue janji bakal traktirin lu berdua di tempat yang lebih elite dari pada kantin ini!"

Dari pada ngomongin Gio yang hemat tidak ketulungan sampai lebih cocok dibilang pelit, mending mereka melanjutkan makan. Gado-gado juga enak, meski tak se-elite makanan Itali di retoran sebelah.

Sroooottt!

Suara Marco menyedot es teh manis yang tinggal es-nya saja.

Srooot Srooot Srooot

"Ih jorok lu!" tegur Gio. "Kalau mau nambah es teh manis, boleh kok. Tapi hentikan tindakan konyol lu itu!."

Marco ketawa kecil. "Nggak kok, udah kenyang. Kembung ntar kalau gue minum lagi." Deol dan Gio masih makan, tapi Marco sudah selesai duluan. "De, kalau Luna jadi cewek lu. Lu syukurannya yang lebih enak dari ini, ya!"

Bisa saja si Marco itu.

"Apa tadi lu bilang? Luna mau jadian sama Deol?" Gio terkejut sekali. "Bener, De?"

"Ah, omongan Marco lu tanggepin." Deol menutup nutupi. Pasalnya tidak ada orang lain yang tahu soal rasa sukanya terhadap Luna kecuali Marco.

"Nggak-nggak. Deol emang suka sama Luna. Sejak pertama kali bertemu malah. Beberapa bulan mereka kerja bersama, Deol nggak langsung PDKT, sekarang jadi susah begini."

Gio langsung pasang muka masam. Sedikit terkejut juga saat mendengar pernyataan Marco. "Yang bener lu suka Luna?" tanyanya seperti tidak percaya.

Deol masih mempertimbangkan untuk memberi tahu Gio atau tidak. Marco malah menyuruhnya untuk terus terang. "Buat apa lu tutup-tutupi, jujur aja deh!" Siapa tahu dapat bantuan dari Gio juga.

Jass Deol(Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang