Dinner

97 14 6
                                    

Selamat membaca!


"Mobil pacar Mas Deol ada di depan tuh!"

"Masak? Kok dia nggak nelpon." Deol buru-buru memakai kaos kakinya. Saat hendak memasukkan kaki ke sepatu, handphone-nya berdering. Panjang umur. Itu Pian yang menelepon. "Eh, iya dia sudah datang." Deol menunjukkan layar handphone pada Mika. Pamer sebenarnya, tapi Mika yang penasaran ingin mengetahui nama pacarnya Deol langsung pasang muka masam. Di layar handphone itu cuma ada nomor tanpa nama.

"Nggak ada namanya, Mas."

"Vian." Dia memberi tahu Mika sambil memencet handphone dan mengarahkan ke telinganya. "Hai Pi. Aku sudah siap," katanya sambil tersenyum di depan Mika. "Ok, aku keluar sekarang."

Dan telepon dimatikan.

"Mik, kamu adalah orang pertama yang tahu soal Vian. Jangan kasih tahu siapa-siapa. Nanti biar aku sendiri yang kenalin sama Papa, Mama dan Yuan."

"Yah, terlanjur. Mas Deol nggak bilang dari kemarin. Sabtu itu saya bilang ke Ibuk kalau Mas Deol pergi sama pacar."

"Yang sudah terlanjur biarin aja. Soal nama, rahasiakan dulu." Mika mengangguk patuh. "Hari ini aku akan pulang telat lagi. Mau jalan-jalan sekalian makan malam sama dia. Kamu masih ingin parfum seperti milik Yuan, kan? Nanti aku belikan buat kamu." Parfum-parfumnya Yuan baunya enak, tapi mahal. Mika ingin parfum seperti itu, tapi sayang kalau gajinya berkurang cuma untuk beli parfum. Tawaran Deol kali ini sudah seperti rejeki durian runtuh buat Mika.

"Mau mau," jawabnya spontan.

Mika membawakan tas kerja Deol keluar kamar. Saat Deol menolak sarapan dan menolak numpang mobil Yuan, Mika juga yang mencarikannya alasan. Sebagai pembantu yang baik, membantu anak majikan sudah jadi kewajibannya. Apalagi dia akan dapat hadiah, ini jadi salah satu cara membalas kebaikan Deol.

"Beneran nggak mau sarapan dulu? Dibungkus, dibawa ke kantor gitu?"

"Ya ampun, Ma. Aku ada janji sarapan sama Marco sambil ngomongin pekerjaan," dalih Deol. "Lagian taksi yang aku pesan sudah nunggu di luar."

"Ya udah, kalau begitu hati-hati!"

Deol berpamitan. Menerima tas dari Mika kemudian buru-buru keluar rumah. Mika tak diperbolehkan mengikutinya ke jalan. Seperti sebelumnya, dia membuka, naik dan menutup pintu mobil Pian dengan cepat. Masih berjaga-jaga agar tak ada yang melihat muka Pian. Setelah itu Deol baru bisa bernafas lega.

"Kenapa, De?" tanya Pian mendapati Deol bertingkah aneh.

"Ah enggak. Senang aja nggak bareng Papa atau Yuan. Mereka suka ngomel kalau aku nebeng."

Aroma aftershave tertangkap indra penciuman Deol saat ini. Refleks dia menoleh pada Pian. Mengamati wajah lelaki itu dan mendapati muka Pian yang bersih dan segar. Awalnya dia begidik membayangkan Pian belum bercukur, bulu-bulu kasar di wajahnya menusuk-nusuk kulit Deol kemarin malam. Kemudian tersenyum lega setelah melihat muka Pian bersih hari ini. Bukan bermaksud ingin Pian meletakkan muka di lehernya lagi, tapi Deol senang saja kalau wajah Pian tampak bersih.

Syukur Deol terlahir di keluarga yang lelakinya bermuka mulus dan bebas bulu. Tidak repot bercukur dulu kalau mau pergi kemana-mana. Jadi hemat waktu.

Pian menjalankan mobilnya, meninggalkan jalan di perumahan elite itu ke jalan raya. Dia belum sarapan, Deol pasti belum sarapan juga. Perjalanan dari rumah ke kantor tidak dekat, dia tak mungkin mengajak Deol berhenti untuk sarapan. Mereka bisa telat. Maka dari itu, tadi Pian menyempatkan diri pergi ke Mc. D. Beli dua paket sarapan untuknya dan Deol.

Jass Deol(Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang