Part 1

1.5K 41 15
                                    

Aku gelisah dengan kemacetan yang menggila. Sesekali aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Sepuluh menit lagi pukul tujuh. Aku dilema, antara turun dari angkot lalu berjalan kaki menuju sekolah, atau diam sampai menunggu kemacetan selesai.

Beberapa karyawan dan anak sekolah lain banyak yang memutuskan untuk berjalan kaki. Aku mengetuk-ngetukkan kaki dalam angkot. Semakin bingung, gelisah.

"Turun aja, deh." Batinku.

Kini aku telah siap menempuh perjalanan kurang lebih sejauh 1km. Langkah kaki ku percepat, bak seorang atlet lari. Atau lebih mirip seperti copet yang di kejar polisi. Baju yang tadinya rapi kini berubah menjadi kusut masai. Parfum telah berbaur dengan wanginya keringat. Rambut tergerai acak. Dandananku jadi agak urakan. Bahkan diriku sempat hampir tertabrak oleh beberapa kendaraan bermotor yang mencoba menerobos trotoar.

Nafasku tersengal. Di tengah perjalanan, tali sepatuku sempat terlepas. Aku mencoba membetulkan nya, lalu kembali melanjutkan langkah kaki sampai akhirnya gerbang sekolah terlihat.

"Fiuh," aku menyeka keringatku sambil mengatur napas perlahan. Untung tidak terlambat dan gerbang sekolah masih dibuka. Huh.

Aku melangkah masuk menuju sekolah. Sekolah yang begitu luas. Pertama datang aku disuguhi oleh taman buatan yang indah. Bunga nya hidup. Pohon-pohon rindang membuat oksigen yang ku hirup menjadi lebih segar. Ditambah suara gemercik air di kolam ikan buatan, membuat aku ingin lebih lama menikmati taman ini. Di pinggir taman ada masjid dengan kubah yang diatas nya ada ukiran bertuliskan lafadz Allah. Betul-betul sekolah favorit.

Piala ditata rapi di beberapa etalase dengan jumlah yang sangat banyak. Aku semakin memantapkan hati untuk ingin melanjutkan pendidikan di sekolah ini.

Ini bukan sekolahku, ini sekolah impianku. Aku masih duduk di bangku kelas 9. Dan sebentar lagi akan melanjutkan pendidikan menuju masa putih abu-abu.

Hari ini adalah hari testing untuk siswa SMP yang ingin bersekolah disini. Aku menelusuri koridor, mencari ruangan 8, ruang tempat aku mengikuti test hari ini.

"Salma!" seseorang meneriaki namaku, sontak aku mencari sumber suara itu. Suara yang tak asing bagiku. Feby melambaikan tangan.

Aku menghampirinya.

"Dari mana aja, sih? Test udah mau mulai bentar lagi." Ujar Feby.

"Iya tau. Tadi jalanan macet banget. Eh, kita seruangan, kan? Gue duduk dimana?"
Feby mengiringku ke tempat duduk.

"Rere sama Ghina di ruang sebelah," Febri memberi tahu tanpa aku bertanya.

Feby, Rere dan Ghina. Mereka sahabat dekatku di SMP. Kini kami pun ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah yang sama agar bisa terus bersama-sama.

Persahabatan yang lekat, penuh kasih sayang, dan haru. Tak bisa dibayangkan jika kami berpisah. Suka duka telah dilewati bersama. Bahkan aku merasa sudah menganggap mereka sebagai keluargaku sendiri.

Test berlangsung lancar. Bagiku soalnya tak begitu sulit. Aku lebih dulu selesai dibanding yang lain. Aku memeriksa ulang kembali jawaban yang telah ku buat, lalu diam sambil menunggu waktu habis. Sempat terbesit di fikiranku tentang kejadian tadi pagi yang membuat aku hampir terlambat sampai ke sekolah ini.

Pagi tadi aku beradu argument dengan Ibu dan Ayah. Orang tuaku tidak merestui aku untuk masuk ke sekolah ini. Bukan apa-apa, keinginan mereka setelah aku lulus SMP adalah melanjutkan pendidikan menuju pondok pesantren. Aku enggan. Meski aku tau pesantren bukan tempat yang buruk, tapi aku tidak mau. Hati dan fikiranku menolak.

"Pergaulan anak zaman sekarang bahaya untuk anak seusia kamu, Nak." Ujar Ayah.

"Aku tau Ayah, tapi aku bukan anak kecil. Aku sudah bisa membedakan mana yang baik untukku dan mana yang tidak!" Aku masih ingat percakapan tadi pagi. Suaraku meninggi saat itu. Aku agak membentak Ayah.

Disamping tentang pergaulan aku tau penghambatnya adalah ekonomi. Sekolah ini memang mahal sekali, tapi aku kukuh tetap ingin bersekolah disini. Semua sahabatku bersekolah disini, aku tak mau pisah dengan mereka. Penghasilan Ayah hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Tapi entah mengapa aku sangat keras kepala kali ini. Aku memaksa, kesal. Hingga tadi pagi aku pergi ke SMA ini tanpa pamit dan salam pada Ibu dan Ayah. Terbesit rasa bersalah di benakku saat ini.

***

Waktu bagaikan beliung yang menyedot hari-hariku dengan cepat. Hari ini adalah pengumuman penerimaan siswa baru SMAN Cita Idola. Hatiku yakin bahwa aku pasti diterima. Bukan apa-apa, bisa dibilang aku termasuk golongan siswa berprestasi di sekolah. Selalu masuk 3 besar, dan piagam penghargaan hasil lomba-lomba pun banyak aku miliki. Itu yang membuat aku yakin pasti diterima di sekolah tersebut.

Kami ber-empat berkumpul di rumah Feby. Siap membuka website berisikan pengumuman penerimaan siswa baru SMAN Cita Idola. Meski aku sudah yakin, jantungku tetap berdebar.

Perlahan kami membuka website, mengikuti petunjuk lalu memasukkan kode ID masing-masing yang diberikan pihak sekolah. Feby yang pertama. LULUS. Kata itu yang terpampang dilayar laptop. Alhamdulillah.

Dilanjut oleh Rere dan Ghina, mereka senasib dengan Feby. Tinggal aku yang terakhir. Jantungku berdegup di luar batas normal, hatiku berdesir. Perlahan kumasukkan ID, lalu menekan enter. Loading. Lama. Membuatku lebih deg-degan. Selesai, akhirnya terbuka. Dan yang aku dapati adalah kata

TIDAK LULUS.

Hening.

Semua saling bertatapan.
Aku mengerjapkan mata, berusaha meyakinkan bahwa yang aku lihat barusan tidak benar. ID yang aku masukkan pasti salah, tidak mungkin aku tidak diterima, sedangkan teman-temanku semuanya diterima.

Tubuhku lemas, ke-tiga sahabatku memeluk perlahan. Aku tak mampu berkata apapun. Mata sudah membendung air, dan kini telah tumpah membasahi pipi. Aku menangis. Tidak terima dengan kenyataan ini. Apa yang harus aku lakukan? Semua sekolah sudah menutup pendaftaran untuk siswa baru. Yang tersisa paling hanya sekolah biasa. Aku tidak mau. Bagaimana masa depanku?

Hatiku sakit. Sekolah favorit yang selama ini aku impikan tak bisa kumiliki. Aku semakin menangis, meski semua sahabat menenangkanku aku tetap menangis. Aku ingin pulang. Ibu, Ayah, aku ingin bertemu kalian.

***
Jazakumullah khairan katsiiraa.
Jangan lupa sertakan
kritik dan saran
:)

Cinta di Penjara SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang