Part 3

706 29 7
                                    

Aku turun dari mobil, yang mengantarku hanya keluarga saja. Ibu, Ayah dan adik. Kerudung biru langit yang aku pakai tertiup oleh angin, membuat kerudung ini sedikit bergelombang. Barang-barang bawaan telah diturunkan. Kaki ini telah menginjak tempat itu, tempat yang sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya, tempat yang akan membuatku jauh dari semuanya. Ada gapura "Selamat datang di pondok pesantern Irsyadul Iman" saat mobilku belum memasuki gerbang.
Bangunan yang tak begitu mewah. Sederhana namun memiliki karismatik tersendiri. Banyak santriwati berlalu lalang, menyanding kitab menuju tempat pengajian.

Kerudung putih tebal mereka kenakan, baju panjang melebihi bokong dan samping perempuan yang dipakai membuat mereka terlihat unik. Aneh tapi menarik. Mungkin nanti pun aku akan seperti itu. Wajah mereka bersinar, bersih, suci. Aku yakin itu adalah sinaran dari air wudhu.
Berbeda sekali dengan pergaulan-pergaulan anak zaman diluar sana. Yang menikmati pergaulan bebas, tapi mereka lebih memilih menimba ilmu di tempat mulia ini. MasyaAllah.

Selesai menyimpan barang dikamar asrama yang disambut hangat oleh para penghuninya, aku dan keluarga kini menuju rumah Buya, pemimpin pondok pesantren ini. Berbeda dengan pondok yang sederhana, rumah ini bertemakan klasik, mewah. Dinding rumahnya berwarna cream. Terdapat beberapa foto keluarga dan figura-figura berisi kaligrafi yang elegan. Di langit-langit rumah nya yang tinggi terdapat lampu besar yang indah. Rumah ini menyambut kedatangan kami dengan hawa nya yang sejuk, ditambah suara gemercik air di kolam buatan yang terdapat dihalaman rumahnya, semakin membuat aku betah disini.

Aku duduk bersama keluarga. Seorang pria bersarung dan memakai koko juga peci datang menghampiri kami dengan membawa nampan berisi air. Menyilahkan kami menikmati jamuan. Sepertinya itu santri putra disini.
Tak lama kemudian datang seseorang memakai jubah putih, peci hitam, wajah nya berwibawa, terdapat kumis tebal dan jenggot tipis yang membuat aku yakin beliau adalah Buya Hamka, pemimpin pondok pesantren Irsyadul Iman.

Beliau menyalami kedua orang tuaku dan menyapa kami dengan hangat. Aku lebih banyak diam dan memperhatikan percakapan Buya dan Ayah. Ayah menitipkanku pada beliau. Sebetulnya kami sangat ingin bertemu dengan Ummi, istri Buya. Namun kebetulan Ummi sedang tidak ada di rumah.

"Gak ada yang kurang, Teh?" tanya Ibu.

"Alhamdulillah lengkap, Bu."

Aku pun mengantar keluarga menuju mobil. Mereka akan pulang. Aku ditinggal disini. Ini kali pertama aku jauh dari mereka. Ada rasa enggan melepas mereka, aku ingin ikut pulang juga.

"Jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan, harus bisa ngatur waktu buat makan, belajar sama istirahat. Inget semua pesen-pesen Ibu sama Ayah. Yang sungguh-sungguh belajar nya. Ya?" Ibu menatapku lekat sebelum memasuki mobil. Aku tak mampu berkata apapun. Lidahku kelu, mataku berlinang.

"Kalau kangen Ibu dan keluarga, baca Al-qur'an dan shalat. Lalu do'akan kita." Aku mengangguk, lalu meminta do'a kepada Ibu dan Ayah.

Ibu memelukku erat. Mencium pipi kiri dan kananku. Aku mencium tangan Ibu dan Ayah dengan ta'dim, mengharap ridho mereka. Aku juga mengusap kepala adik, dan berpesan jangan nakal selama aku tak ada di rumah. Suasana menjadi haru. Mobilpun melesat perlahan, lalu hilang. Aku masih berdiri menatap jalan menuju gerbang dengan keadaan hati menangis. Rindu mereka. Rasanya aku tidak mau di tinggal. Namun ini perjuangan, aku harus melewatinya.

Aku pun kembali ke kamar asrama, ditemani ketua kamar, Ukhti Zulfa.

🌼🌼🌼

Simpanlah lidah dibelakang hati dan akal mu.

Jazakumullah khairan katsiiraa.
😊

Cinta di Penjara SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang