Part 2

648 31 8
                                    

Kakiku berpijak di hamparan pasir luas. Tak ada bangunan satu pun. Suasana riuh pikuk, semua orang sibuk dengan urusan nya masing-masing. Mereka memakai pakaian putih, keringat meluncur dari pelipis karena terik yang menyengat.
        
         Aku memandang sekeliling, tak ada orang yang aku kenal. Dimana sebetul nya ini?
Aku terhentak seketika ketika melihat sosok Ibu dan Ayah. Ku panggil mereka, lalu ku lambaikan tangan. Mereka menoleh, dan tersenyum. Hanya sebatas itu, tak ada sapaan apapun. Aku semakin bingung, apa yang terjadi?

         Tiba-tiba turun cahaya dari langit, semua orang merubah posisi menjadi satu baris. Aku masih dengan perasaan sama, bingung. Lalu kuputuskan untuk ikut mengantri di barisan itu. Saat aku menoleh, tak ada orang di belakangku. Aku ada di antrian terakhir.

         Ku perhatikan, setiap orang yang melangkahkan kaki kedalam cahaya itu mereka menghilang. Aneh. Dan sekarang giliranku, namun saat kaki ini melangkah, bukan aku yang hilang, melainkan cahaya itu.

         Aku tertinggal.

         Sendiri.

         Di tempat asing, sepi. Aku teriak, minta tolong. Namun tak ada sahutan apapun, yang ada hanyalah suaraku yang menggema, menggema dan menggema.
Diri ini panik, takut. Aku dimana? Harus kemana? Tak menyerah, aku terus berteriak minta tolong, berlari kesana kemari, tak tentu arah. Hingga akhir nya aku lelah dan lututku tersungkur ke dasar pasir. Kepalaku menunduk, mataku berarir, aku menangis.

         "Ya Allah tolong......" rintihku.
Takut yang benar-benar takut. Aku tak tau ini alam apa, dan sedang terjadi apa. Semuanya asing bagiku. Tak berhenti aku merintih minta tolong, hingga akhirnya ada suara yang menyahut.

         "Kamu tak akan bisa masuk kedalam cahaya itu. Cahaya itu khusus untuk orang beriman. Semasa di dunia, kamu menyepelekan agama Allah. Tidak menuruti perintah orang tuamu untuk menimba ilmu agama. Menyesal lah, dan semua itu sia sia bagimu."

         Aku tersentak oleh suara itu. Hanya suara, tak ada 'jelmaan' apapun. Siapa itu? Badanku bergetar, bulu kudukku merinding, tapi aku tetap kembali merintih.

         "Maafkan aku... Kembalikan aku ke dunia, aku janji akan mematuhi Ibu dan Ayah, aku janji akan menimba ilmu agama," suaraku melemah. "Kembalikan aku ke dunia yaAllah, aku mohon....."

         Mataku terbuka cepat. Napasku tersengal. Dahiku berkeringat dingin. Aku memegang kedua pipi, memandang sekeliling, memastikan bahwa aku benar-benar sedang ada didalam kamar. Apa ini? Tadi itu mimpi? Aku menjelajah fikiran, mengingat- ngingat hal apa yang sudah aku lakukan sampi aku bermimpi seperti tadi? Aku ingat, terakhir aku pulang dari rumah Feby, menangis lalu mengurung diri di kamar dan tertidur.

         Aku langsung mengubah posisi baring menjadi duduk, lalu mengatur nafas agar kembali normal seperi semula. Setelah itu aku keluar kamar menemui Ibu.

         "Bu," ujarku pelan.

         Ibu menoleh, beliau sedang menyetrika "Udah bangun?"

         "Bu, teteh mau pesantren." ujarku tanpa basa-basi.

         Ibu terlihat seperti setengah kaget, "Ko tiba-tiba gitu?"

         "Ya pengen aja." jawabku asal.

         Kabel setrika terlepas, Ibu telah selesai dengan pekerjaan nya. Beliau lalu duduk di sofa, mulut nya masih diam. Namun tatapan mata nya seakan-akan menunggu jawaban apa alasan aku tiba-tiba berubah fikiran.

        "Tadi Teteh mimpi aneh, Bu. Takut. Kirain itu nyata, pas mata kebuka rasanya lega banget," aku menarik nafas sejenak. Lalu menceritakan semua mimpiku tadi dari awal sampai akhir.

         "Teteh nangis, teriak. Minta kesempatan buat dihidupin lagi sampai tiba-tiba teteh bangun, Bu. Dan alhamdulillah nya itu cuma mimpi."

        Aku menyudahi perkataanku yang panjang itu. Ibu menyimak nya dengan baik.

         "Bukan mimpi, Teh. Itu bunga tidur penjemput hidayah. Mungkin lewat mimpi itu do'a Ibu akhirnya terkabul."
      
         Aku hanya diam, menatap lekat wajah Ibu yang mulai menua. Rambut nya mulai memutih. Namun matanya selalu terus memancarkan cahaya semangat untuk keluarga. Aku tau, aku sering mendengar Ibu menangis tengah malam ketika semua orang tertidur. Ibu selalu menyebut namaku dalam do'a nya itu benar.

         Beliau adalah sosok yang lembut, penuh kasih sayang, tidak pernah memaksakan kehendak dan sangat religius. Kemana-mana selalu mengenakan kerudung dan rok atau gamis. Tidak pernah memakai celana panjang. Keinginan beliau untuk memasukkan aku ke sebuah pondok pesantren itu sudah lama. Tapi beliau tidak pernah memaksa, selalu mengutamakan kebahagiaan anaknya selagi itu tak melampaui batas.

         Dan ku rasa, ini saat nya aku mengabulkan keinginan Ibu dan Ayah untuk memiliki anak yang menimba ilmu di Pesantren.

         "Teteh mau pesantren, Bu. Kasih kesempatan buat berubah dan jadi anak yang sholeh buat Ibu dan Ayah," mulutku refleks berbicara seperti itu.

         Ibu tersenyum haru, lalu memelukku erat. Aku yakin mata nya berlinang saat ini, sama seperti aku. Aku malu sebenarnya melakukan hal seperti ini. Entah mengapa melakukan kebaikan kepada orang tua itu rasanya malu.

         Tiba-tiba Ayah pulang dengan menenteng kantong berisi makanan.

         "Wah ada apa nih peluk-pelukan gini?"

         Aku nyengir, memamerkan deretan gigi putihku kepada Ayah. Malu. Lalu sejurus kemudian aku kabur menuju kamar. Biarkan Ibu yang menceritakan semuanya. Semoga Ayah bahagia mendengar kabar ini.

🌼🌼🌼

Simpanlah lidah di belakang hati dan akal mu.

Jazakumullah khairan katsiiraa.
😊

Cinta di Penjara SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang