Part 5

600 18 1
                                    

Tetttt!!!

Bel sudah berbunyi. Sangat melengking, memekakkan telinga. Memang seperti itu, jika sudah tiba waktu untuk mengaji, ukhti seksi pendidikan pasti terus menerus menekan bel sampai kamar asrama bersih tanpa penghuni. Bahkan biasanya WC pun ikut diperiksa. Takut ada santri putri yang keselip di WC dan akhirnya absen mengaji.

Semua santri bersiap-siap untuk mengaji, ada yang masih nangkring didepan kaca sambil membetulkan kerudung, ada juga yang sudah siap berangkat sambil menyanding kitab.

"Ukhti, jangan ada yang ghasab sendal jepit hijau ya!" teriak Enuy ketika penghuni kamar sebagian telah keluar.

"Itu sendal antum, Nuy?" tanyaku.

Enuy nyengir "Sssttt, abis sendal ana ilang, Ma. Ada sendal tadi dekat kantor, yasudah ana ambil. Tar ana kembalikan ko. Hehehe."

"Sama aja itu ghasab, Nuy." seru Zahrana.

"Gimana kalau itu sendal ukhti yang dikantor?"tanya Neha.

"Gak mungkin lah. Yaudah berangkat aja, yuk." Enuy mengalihkan pembicaraan.

Aku dan Anisa menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja Enuy ini.

Kami semua bergegas menuju tempat pengajian. Di pondok ini ada lima tingkatan kelas.
Kelas satu disebut ibtida, kelas dua tsanawi, kelas tiga mutawasith, kelas empat muntaha dan kelas lima mahadul ali.

Aku dan Zahrana satu kelas. Kami langsung naik ke kelas tsanawi. Karena Zahrana dulunya pernah pesantren, dan aku dulu pernah mengaji biasa saja.
Sedangkan Anisa, Neha dan Enuy mereka ada dikelas ibtida.

Jadwal pengajian hari ini adalah mengkaji kitab Riyadusshaalihin, karangan Syekh An-Nawawi. Kitab yang menerangkan tentang ilmu fiqh. Tanpa aku sadari, masih banyak amal ibadahku yang belum sempurna, bahkan jauh dari kata sempurna setelah mempelajari kitab ini.

Sebelumnya, kami selaku santri baru belum sah disebut sebagai santri jika belum melewati MOS (Masa Orientasi Santri). Berbeda dengan MOS sekolah, selain untuk memperkenalkan keseharian pesantren dan beradaptasi dengan lingkungan nya, kami juga di didik untuk menjadi santri yang berakhlakul karimah seperti yang diajarkan dalam kitab Akhlakul Banat.

Kebetulan aku menjadi ketua kelompok, semuanya ada 9 kelompok. Setiap ketua wajib mengenakan kerudung merah disertai mahkota buatan dari kardus, sedangkan anggota lainnya hanya mengenakan kerudung hitam.

Kami wajib memakai sarung. Sarungku dan yang lainnya sering sekali melorot karena kami belum terbiasa. Dilanjut dengan tas buatan dari plastik (keresek) berisi buku dan balpoin disertai dengan tali rapia. Lalu pinggang kami diikat oleh tali rapia yang sudah dipasangi botol air mineral. Satu lagi, kami diwajibkan memakai sandal jepit biasa yang sisi kiri dan kanan nya harus memakai rapia juga. Entah penampilan aneh macam apa ini aku pun tak mengerti.

Kami betul-betul dididik untuk menjadi santri yang qonaat (merasa cukup dengan apa yang ada) dan berakhlak baik. Karena Nabi Muhammad SAW pun diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak.

Aku baru tau kalau kita akan memberikan suatu benda kepada seseorang, misalkan pisau. Kita tidak boleh memberi bagian yang tajam nya kepada orang tersebut. Melainkan kita yang harus memegang bagian tajam dan orang lainlah yang menerima bagian pemegang pisau.

Dan jika kita menunjuk sesuatu alangkah lebih sopan nya tidak menggunakan telunjuk melainkan menggunakan jempol. Lalu ketika kita berbicara dengan guru atau orang tua kita lebih sopan jika menunduk dan tidak berani menatap matanya kecuali dalam hal tertentu.

Selain itu, kami juga diajarkan tata cara wudhu yang benar beserta do'a-do'a dan niatnya. Betapa bodohnya aku ini. Mengapa selama ini aku jarang sekali berdo'a ketika wudhu, padahal aku mengetahuinya dan hafal berkat guru ngajiku di rumah.

Kami juga diberi tahu bagaimana ukuran air yang lebih dari dua kolam dan sah dipakai wudhu. Baru aku sadari, ternyata banyak ilmu yang aku sepelekan dan amal yang aku lalaikan. Astagfirullah.

Mos berlangsung selama tiga hari. Hari yang betul-betul lelah namun mengesankan. Betul-betul membuat mataku terbuka dan sadar bahwa pengetahuan tentang agama dalam diriku belum lah seberapa.

Hari terakhir merupakan penggojlogan, kami menyanyikan mars ma'had Irsyadul Iman bersama-sama juga memainkan beberapa game seru yang membuat baju betul-betul kotor.

Saat itu, tak sengaja aku melihat akhi Fahri sedang memimpin penggojlogan santri putra dengan menggunakan kartu nama berwarna hijau.

Oh, dia termasuk mudabbir, ya. Batinku.

Mungkin kalau disekolah sama saja dengan OSIS. Aku baru tau kalau dia sudah di pondok ini semenjak tsanawiyyah. Dia selalu terlihat tampan, karismatik.
Lah mengapa aku memperhatikan nya? Aneh.

Setelah kelasku selesai mengaji santri tsanawi pun keluar untuk bersiap-siap melaksanakan jama'ah ashar. Namun ketika melewati kelas ibtida, aku dan Zahrana heran karena kelas mereka belum bubar. Mereka malah berbaris dan diperiksa lalu pulang satu persatu.

Aku bertanya pada santri ibtida yang sudah keluar, "Ukhti, kelas ibtida kenapa? Ada razia?"

Santri tersebut menggeleng, "Ada yang ghasab sendal shalat ukhti yang dikantor. Sedang diperiksa, mau diberi hukuman. Tapi katanya ringan."

Aku dan Zahrana langsung saling pandang, setengah panik. "Enuy!"

🌼🌼🌼  

Simpanlah lidah dibelakang hati dan akal mu.

Jazakumullah khairan katsiiraa.
😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta di Penjara SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang