ALYANA
Baru pertama kali aku menginjak-kan kaki di café ini. Kuedarkan pandanganku, menyapu seluruh isi café. Agak ramai sepertinya. Beberapa meja terisi pasangan yang menikmati kopi sambil berbincang, sebagian yang lain asyik dengan ponsel pintarnya. Sementara di meja pemesanan terlihat beberapa orang mengantre untuk mendapatkan pesanannya, termasuk aku. Aku masih mengamati ruangan ini sampai akhirnya tiba giliranku.
"Mau pesan apa?" tanya seorang perempuan yang kutebak usianya sekitar 24 tahunan. Suaranya datar saja namun tidak terdengar acuh. Ada perasaan aneh yang mulai menjalar dari sudut hatiku ketika mendengar suaranya.
"Ng.., cappuccino-nya satu." Entah mengapa aku agak salah tingkah. Dia sesekali melihat ke arahku sambil tangannya menekan tombol di meja kasir. Tanpa senyum, datar saja, tapi tidak membuatnya terlihat acuh.
"Diminum di sini atau dibawa pulang?"
"Mmm.., dibawa pulang." Aku masih salah tingkah. Pandangannya membuatku kikuk.
"Dipesan atas nama siapa?"
"Alyana", jawabku cepat.
"Delapan belas ribu."
Aku menyodorkan lembaran lima puluh ribuan padanya. Tak lama ia memberikan uang kembalian padaku.
Aku memerhatikannya bergeser ke bagian kanannya, tempat dimana pesanan di buat. Ya, meja kasirnya menyatu dengan tempat mesin kopi berjajar. Di samping kirinya terdapat cake showcase yang tidak terlalu besar. Sementara di bagian belakang terlihat sebuah dapur mini, sepertinya tempat membuat dan menyiapkan snack atau menu lainnya.
Ditulisnya namaku di gelas. Lalu ia mulai meracik cappuccino-ku. Sesekali aku mencuri pandang pada wajahnya. Dan kembali jadi salah tingkah saat mata kami bertemu. Aku pura-pura mengedarkan pandanganku. Garuk-garuk kepala, padahal sama sekali tidak gatal.
Kami sudah berhadapan kembali. Kemudian ia menyerahkan cappuccino itu padaku. Beberapa detik mata kami saling bertatapan. Oh, no.., God was in a very good mood when He created her. Haha. I'm out! Aku segera pergi sesaat setelah tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih padanya.
Kakiku melangkah menuju taman kota. Jaraknya sekitar 500 meter dari tempat ini. Sembari berjalan menyusuri trotoar sesekali kuseruput cappuccino-ku dan berpikir tentang apa yang baru saja terjadi. Seorang gadis biasa, sukses membuatku salah tingkah? Apa yang ia punya sehingga membuatku begitu salah tingkah di hadapannya? Apakah aku terlalu berlebihan menyikapi hal ini? Atau memang ada yang salah denganku?
Aku berhenti di bangku taman, duduk, kuletakkan tas yang sedari tadi kubawa, meluruskan kaki, menyeruput sisa cappuccino-ku. Baru saja tegukan terakhir melewati tenggorokan, handphone-ku berbunyi. Kurogoh isi tasku, melihat sekilas nama si pemanggil di layar, DIMAS, kutekan tombol hijau di layar."Ya, Mas?"
"Hallo, Sayang. Kamu dimana ini?"
"Di taman kota, lagi duduk-duduk aja, habis beli cappuccino di café deket sini. Ada yang lupa kamu bawa kah?" tanyaku kemudian, mengingat biasanya kalau Dimas telepon kemungkinan besar ada barang yang lupa dia bawa ke kantor.
"Ga sih. Mmm.., aku mau ajak kamu makan siang nanti, bisa ga? Di tempat biasa ya. Lagi pengen aja, udah lama juga kan kita ga makan siang bareng." Aku menaikkan alis, agak terkejut dengan ajakannya kali ini, tidak seperti biasanya.
"Hmm.., oke. Nanti aku ke sana."
"Great. Kita ketemu di sana jam 1 ya. Hati-hati di jalan. Love you." Sambungan telepon terputus setelah aku membalas salamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like The Perfect Ending
RomanceCinta pada pandangan pertama? Kalian percaya itu? Mungkin bagi sebagian kalian meragukannya. Begitulah, mana mungkin kita bisa memahaminya tanpa pernah sekali pun mengalaminya? Seperti Tania dan Alya. Keduanya tidak percaya akan cinta pada p...