6. Guilty

6.7K 505 25
                                    

Ini hampir tengah malam, dan aku belum juga bisa memejamkan mata. Sudah segala gaya aku coba supaya bisa tidur, tapi tidak juga berhasil. Kejadian di café siang tadi memenuhi ruang pikirku. Ugh!

Kututupi wajahku dengan bantal. Tapi tidak membantu, yang ada malah bayangan wajahnya semakin jelas, seolah ia berada di atasku. Menindih tubuhku, menciumi setiap bagian wajahku. Oh, tidak!

Aku beranjak dari tempat tidurku, menyalakan lampu tidur di meja yang ada di samping tempat tidur, lalu berjalan mengambil dompet dari dalam tas di atas meja rias. Sambil berjalan kembali ke tempat tidur, aku mencari kertas tissue berbentuk hati yang tadi sengaja kuselipkan ke dalam dompet ketika Tania menolak uangku. Dapat!

Kurebahkan tubuhku kembali sambil kupandangi benda kecil putih itu. Aku tersenyum, teringat ekspresinya ketika ia memberikan tissue itu padaku. All I feel in my stomach is butterflies. Am I in love with you, or am I in love with the feeling?

Drrrtt.. Drrrtt.. Drrrtt..

Aku melompat dari tidurku. Kuraih handphone yang ada di meja samping tempat tidur. "DIMAS". Segera kuangkat.

"Ya, Mas?"

"Sayang.., maaf malam-malam aku telponnya. Kamu pasti sudah tidur ya?!"

"Ga kok, aku belum tidur, masih nonton TV." ucapku berbohong. "Kamu juga kenapa belum tidur, udah tengah malem begini."

"Baru aja kelar bikin presentasi untuk besok. Ini client agak-agak rewel, pusing kepalaku jadinya." Aku tertawa mendengar keluhannya. Baru kali ini dia mengeluh seperti itu.

"Rewel mana sama istrimu ini?"

"Aaa.., tidak ada yang mengalahkan rewelnya belahan jiwaku yang satu ini lah. Hahaha. Aku bercanda, Sayang. Mana pernah kamu rewel? Kamu istri paling pengertian sedunia."

"Malem-malem ngegombal." terdengar suara tawanya lagi di seberang.

"I miss you badly, Honey." katanya.

"Me too." kataku. Aku berbohong? Entahlah. Pikiranku saat ini hanya tertuju pada Tania. Forgive me, Mas.

"Kamu yakin ga mau nyusulin aku ke sini, Sayang?" tanyanya.

"Mmm.. Lihat ntar deh, aku di sini aja dulu. Aku bener-bener ga mau mecah fokus kamu sama kerjaan." Alasan sebenarnya? Tentu saja Tania. Lagi-lagi Tania!

"Ya udah kalo gitu, gimana enaknya kamu aja. Nonton TV-nya udahan dulu ya, Sayang, tidur. Dilanjutkan besok lagi."

"Iya, Mas. Kamu juga ya. Good night, Mas. Love you."

"Good night, Honey. Love you too."

Aku mematikan lampu di meja kecil samping tempat tidurku. Tiba-tiba kantuk melandaku.

* *

"Selamat pagi, Mbak." sapa Mbok Yah ketika aku menghampirinya di dapur. Baru juga adzan subuh berkumandang, si Mbok sudah sibuk di dapur.

"Pagi, Mbok. Lagi ngapain?"

"Lagi nyiapin bahan buat soto Semarang, Mbak. Katanya kemarin Mbak Alya kangen sama soto buatan si Mbok." O iya, kemarin aku bilang begitu sama si Mbok. Hahaha.

"Great. Bisa sarapan sama soto dong pagi ini?"

"Bisa banget.", si Mbok tersenyum sambil mengacungkan jempolnya lalu melanjutkan aktivitasnya di dapur.

"Yes!" kataku senang.

Aku mengambil segelas air putih dan membawanya ke halaman samping rumah. Area ini terbagi menjadi dua bagian jika dilihat dari pintu pemisah ruang tengah dan halaman samping. Taman di sebelah kiri dan kolam renang kecil berbentuk oval di sebelah kanan.

Aku duduk di ayunan kayu yang letaknya di ujung taman. Beberapa bunga, mulai dari beberapa jenis mawar, anggrek, melati, bougenvill, bahkan kamboja dan beberapa bonsai terlihat benar-benar memanjakan mata. Itu berkat ketelatenan si Mbok yang merawatnya. Ada kolam ikan dan kandang burung yang letaknya berbatasan langsung dengan dinding garasi. Ya, Dimas suka ikan dan burung. Sementara aku suka suara gemericik air dan kicauan burung. Klop.

Aku meneguk isi gelas yang kubawa. Kuletakkan gelas yang isinya tinggal setengah itu di meja bundar kecil dekat ayunan. Kutarik nafas dalam-dalam, kutahan sebentar, lalu kuhembuskan perlahan. Aku mendongak ke arah langit, hamparan bintang masih terlihat jelas dari balik atap kaca. Kuhentakkan ringan kakiku sehingga ayunan bergerak pelan.

"Aku tahu ini salah, dilihat dari sudut mana pun, tapi aku tak kuasa menghindari perasaan ini." Gumamku pelan. "Bukan hanya karena aku membagi rasa yang aku punya, tapi ini menjadi semakin salah karena dia seperti aku, dia seorang wanita!" Aku tertunduk. Kupejamkan mata. Yang ada hanya hitam saja.

Tidak ada yang dapat mengelak ketika sebuah perasaan bernama cinta datang menghampiri, pun ketika rasa itu sesungguhnya salah dan tidak boleh ada. Jadi, bisakah kali ini saja aku merasakan, menjalani, dan menikmatinya.., sebelum akhirnya harus berakhir?! Entah dengan akhir yang sedih atau bahagia, akhir yang menyakitkan atau menyenangkan, aku tidak peduli! Sekali ini aku hanya ingin egois, bahkan terhadap diriku sendiri.

"Hmfhhh.. Sudahlah, jalani saja. Lihat nanti jalannya akan kemana, akan seperti apa." Setelah meneguk sisa air putih di gelas, aku beranjak dari ayunan, melangkah menuju kamar untuk menunaikan shalat subuh.

Kuhampar sajadah, kulaksanakan shalat subuh dua rakaat. Selepas shalat dan berdzikir sebentar, aku mengadu pada-Nya. Menyampaikan keluh kesaku. Menyampaikan kegelisahan jiwaku. Meminta ampunan pada-Nya atas apa yang tengah kurasakan, tentang semua hal salah yang masih saja aku jalani walau aku tahu hal itu tidak sepatutnya dilakukan.

Drrrtt.. Drrrtt.. Drrrtt..

Baru saja aku mengusapkan kedua tanganku ke wajah, handphone-ku bergetar. Aku melepas mukenah dan sajadah yang kugunakan, lalu kuraih handphone di meja kecil dekat ranjang. "LARAS".

"Hmm? Aku kan sudah bilang sama si Mona, aku ngambek, aku ga mau ngomong sama kamu." kataku pura-pura judes.

"Halah, gayamu.., pakai acara ngambek segala. Aku udah bawain kangguru sama koala buat kamu loh, yakin kamu masih mau ngambek?"

"What? Seriously? Mauuuu.. Eh, maksudnya aku mau kangguru sama koalanya." Yang dimaksud Laras dengan kangguru dan koala itu adalah boneka.

Ya, jika wanita lain biasanya akan ribut minta oleh-oleh tas, sepatu, atau perhiasan, aku justru akan senang jika mendapatkan boneka. Entahlah, di usia setua ini aku masih suka boneka. Sampai-sampai aku punya satu kamar khusus untuk menyimpan semua boneka-boneka yang aku dapatkan. Sebenarnya kamar itu adalah kamar untuk calon anakku dulu, tapi kemudian beralih fungsi sebagai "museum mini" boneka-boneka dari kado atau oleh-oleh yang aku dapatkan.

"Ya udah, nanti aku mampir ke situ sebelum berangkat ke butik ya."

"Okeee...", jawabku semangat.

* * *

Like The Perfect Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang