ALYANA
"Hati-hati di sana ya, Mas. Jangan jelalatan itu mata. Istighfar kalo ngelihat paha mulus, jangan diterusin cuci matanya." Dimas terkekeh setelah mengecup keningku.
"Mana mungkin, Sayang. Kamu kan tahu, aku mati rasa sama perempuan di luar sana. Cuma kamu seorang yang ada di mata dan hatiku." Aku mengecup bibirnya cepat. Ia nampak terkejut, lalu tersipu malu.
Ya, kami berciuman hanya ketika akan melakukan hubungan ranjang saja. Selebihnya hanya akan ada ciuman di kening atau pipi. Kebiasaannya menjaga kehormatanku terlalu kebablasan sepertinya. Haha.
"Aku pergi dulu ya, Sayang. Baik-baik selama aku pergi. I'll call you gitu aku sampai di sana." Dia memelukku dan mengecup keningku sekali lagi. "I love you, Honey." bisiknya.
"I love you too." kukecup keningnya agak lama. "I'll miss you, Mas."
"I'll miss you too, Alya Sayang."
"Titip Dimas ya, Don. Ingetin suruh makan, makan yang bener, jangan cuma ngemil. Ingetin istirahat, jangan keseringan begadang." kataku pada Doni, sekretaris Dimas.
Sebenarnya dia lebih ke sahabat Dimas sih. Mereka berteman sejak SMP. Semua urusan kantor yang Dimas perlukan, Doni lah yang menangani. Begitu pun sebaliknya, semua kebutuhan Doni dan keluarganya (ayah, ibu, dan ketiga adiknya) ditanggung penuh oleh Dimas. Mereka lebih terlihat seperti keluarga. Apalagi sejak orang tua Dimas meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika Dimas duduk di bangku SMA. Keluarga Doni adalah keluarga kedua bagi Dimas.
"Tenang aja, Al.., serahkan semuanya sama aku. Dijamin aman terkendali." Doni menepuk-nepuk dadanya sendiri dan pura-pura terbatuk-batuk. Kami tertawa menanggapi leluconnya.
"See you soon, Honey." Dimas mulai berpaling, melangkah menjauh. Sesekali ia berbalik melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sembari tersenyum. Aku pergi setelah tak lagi melihat bayangannya dari kejauhan.
"Jadi pergi ke butik Bu Laras, Bu?" tanya Ujang, sesaat setelah aku masuk mobil.
"Ng.., kita ke Coffee Break Café aja dulu, Jang, café di daerah sekitar taman kota. Nanti saya kasih ancer-ancernya kalo udah deket."
"Baik, Bu." Mobil melaju perlahan meninggalkan bandara.
* *
"Depan belok kanan ya, Jang. Café yang catnya coklat itu. Saya ditinggal aja gapapa kok, Jang. Kamu anter istrimu ke rumah sakit aja dulu gapapa. Saya juga kayanya bakal agak lama di sini. Nanti saya hubungi kalau saya butuh dijemput." kataku. Teringat cerita Ujang tentang istrinya yang tengah hamil muda. Hari ini ia bermaksud untuk memeriksakan kondisi kehamilan istrinya.
"Iya, Bu. Hatur nuhun." suaranya terdengar agak bergetar seolah khawatir akan kondisi istrinya.
Aku turun dari mobil. Kakiku melangkah perlahan menuju pintu café ini lagi, Coffee Break Café. Entah mengapa aku sangat ingin kembali kemari. Karena benar-benar ingin menikmati cappuccino, atau ingin menikmati wajah si pembuatnya. Stupid!
Kutarik nafas dalam perlahan, kemudian menghembuskannya agak keras seolah ingin melepaskan beban yang aku sendiri tidak tahu tentang apa itu. Kubuka pintu cafè, terdengar suara lonceng berdentang. Situasinya lebih sepi dari kemarin, sepertinya café ini baru buka. Antrean juga tidak ada. Otomatis aku bisa langsung memesan.
Perempuan di balik meja kasir berbalik dan menyapaku. Gadis yang sama. Aku sebut saja gadis ya. Sepertinya dia masih muda dan belum menikah, aku rasa begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like The Perfect Ending
RomanceCinta pada pandangan pertama? Kalian percaya itu? Mungkin bagi sebagian kalian meragukannya. Begitulah, mana mungkin kita bisa memahaminya tanpa pernah sekali pun mengalaminya? Seperti Tania dan Alya. Keduanya tidak percaya akan cinta pada p...