Dari Mata Romi -1

481 82 29
                                    


Sial. Ketika gue hampir mencetak gol, hujan malah turun. Anak-anak kelas IPS malah dengan cupunya segera berlari meninggalkan lapangan. Gue masih berdiri di tengah lapangan, berkacak pinggang sambil terengah-engah. "Kok udahan sih?" tanya gue setengah berteriak dari tengah lapangan.

"Udah ujan! Udah sore! Bubar lah, kayak nggak ada hari esok aja buat main!" seru Todi, salah satu anak IPS yang ikut bermain tadi. Ia sekarang sudah berada di salah satu deretan tempat duduk di koridor yang menghadap ke lapangan.

Gue berjalan menuju deretan tempat duduk itu. Todi menoleh ke arah kerumunan adik kelas yang tampak membawa beberapa rol karton. Sepertinya mereka baru selesai ekskul Mading.

"Hai..." Todi melambai ke arah kerumunan tersebut. Beberapa adik kelas tampak tersenyum-senyum melihat lambaian kakak kelas mereka itu.

Gue menoyor kepala Todi, berharap hal itu membuatnya berhenti menggoda adik-adik kelas dan kembali bermain saja ke lapangan. Todi menepis tanganku dan mengikuti kerumunan adik-adik kelas itu yang tak bisa keluar dari sekolah karena masih hujan.

"Kok pada belum pulang?" Todi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya sambil menyunggingkan senyum lebar kepada para adik kelas. Gue berdiri dekat tempat duduk gue, melihat Todi menjalankan aksinya dari jarak yang cukup aman.

"Belum, kak. Hujan soalnya."

"Oh... Mau dipinjamin payung?"

"Oh, kakak ada payung buat dipinjemin?" tanya salah satu adik kelas yang berambut panjang. Perawakannya mungil –tipe korban-korban Todi.

"Ada. Tapi kasih nomor HP kamu dulu, ya?"

Gue bergidik ngeri melihat cara Todi menggoda adik kelas yang akhirnya malah tersenyum-senyum sendiri itu. Darius baru saja kembali dari toilet pada saat gue melipat kedua kaki dan duduk di atas tempat duduk.

"Pulang ke mana, Rom?" Darius duduk di samping gue dan mengambil handuk kecil dari tasnya dan mengeringkan rambutnya yang terkena air hujan. Gue jadi teringat handuk kecil dalam tas gue. Kikan sering mengingatkan gue untuk tidak lupa membawa handuk kecil jika berencana main futsal.

"Kayaknya gue mau latihan di OPUS, deh," jawabku sambil mengeluarkan handuk kecil dalam tasku juga. Rambut gue sudah kepalang basah namun setidaknya butiran-butiran air hujan yang menempel di wajah.

"Lo bahkan udah nggak ngeles pun, masih latihan ya?" tanya Darius dengan wajah terkejut.

"Penting, lah. Gue juga main piano di rumah. Tapi gue selalu sisihin waktu ke OPUS, biar mainnya lebih fokus."

"Sisihin waktu..." gumam Darius sambil memainkan bola futsal yang ada di kedua kakinya.

"Iya, kayak yang lagi main piano di ruang atas... Lo denger nggak sih, belakangan ini sore-sore kalau kita udah mau selesai main futsal, suka ada suara orang main piano?" gue menunjuk-nunjuk ke langit-langit, mengisyaratkan ruang musik di lantai tiga.

"Gue kayaknya ngga sepeka itu sih sama nada. Gue cuma peka ama teriakan GOLLL!!" seru Darius tiba-tiba sambil mengepalkan tangan dan tertawa terbahak-bahak melihat gue terlonjak kaget.

"Rese lo!" gue meninju pelan lengan Darius sampai ia mengaduh. Gue paling bete kalau dikagetin sama si anak satu ini. Suaranya suka terlalu besar, bikin gue berasa senam jantung.

Gue mencoba menajamkan telinga gue dan mendengar si pemain piano baru saja mengganti lagunya menjadi sebuah piece dari Johann Sebastian Bach yang berjudul Invention no. 8 in F Major, BMV 779. Aku tahu karena ini adalah salah satu piece yang pernah diajarkan guru lesku saat masih SMP. Salah satu piece yang cukup cepat dan membuat gue pusing melatihnya.

[Recalling the Memory] Dari Mata RomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang