Rabu, 16 Januari 2008
Gue langsung tersedak sereal sampai-sampai hidung terasa sakit ketika Ayah melongokkan kepala dari samping dan bertanya "Mau ketemu siapa pagi-pagi?"
Gue buru-buru mengambil selembar tisu di tengah meja makan dan menoleh ke arah Ayah yang mulai cekikikan. "Ketok dulu napa, Yah?"
"Mana ada pintunya?" jawab Ayah sambil menoleh ke kiri dan kanan, semakin mengejek.
Gue hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menyeka sisa susu di mulut. "Iseng aje."
Ayah makin tertawa-tawa, namun ia tak akan berhenti bertanya sampai pertanyaannya terjawab. "Mau ketemu siapa?"
"Ada teman, Yah. Kita mau main piano bareng."
Ayah mengangguk-angguk. "Jadi kamu udah keluar dari klub gitar?" tanya Ayah sambil melengang melewati ruang makan, menuju teras rumah. Dari ruang makan, tubuh Ayah yang jangkung tampak sedikit membungkuk untuk mengambil surat kabar yang sudah ada di lantai teras.
Ayah melihat ke arahku, kembali menanyakanku pertanyaan –yang tak akan ia henti tanyakan sampai ia menemukan jawabannya. Sambil membuka beberapa halaman sisipan surat kabar, ia melihat ke arahku, menunggu.
Gue menggeleng. Ayah hanya nyengir sambil melebarkan surat kabarnya di atas meja. Ia senang membacanya dengan cara seperti ini. Sesekali ia melebarkan surat kabarnya di lantai sambil duduk bersila dan minum secangkir kopi. Citra yang berbeda dengan apa yang ia tampilkan di foto perusahaan. Jika di foto perusahaan Ayah tampak berwibawa, di rumah ia sering terlihat seperti engkong-engkong kedai minum teh dalam film Hong Kong.
"Pergi dulu, Yah!" gue berpamitan sambil memakai sepatu Converse putih gading gue dengan cepat. Gue buru-buru pergi sebelum Ayah menyuruh gue kembali untuk mencuci mangkok sereal. Beneran deh, setiap anak sehabis makan disuruh cuci piringnya masing-masing. Apa bedanya dengan nunggu piring-piring kotor lain lalu dicuci sekaligus? Kenapa coba harus langsung dicuci setiap kali habis dipakai? Kasihan sabunnya.
Rumah gue terletak dekat OPUS –sebuah tempat berlatih piano dekat sekolah. Biasanya, kalau sedang nggak harus jemput Kikan, gue suka berjalan kaki ke sekolah sambil mendengarkan lagu dari iPod nano berwarna abu-abu pemberian Ibu.
iPod yang sudah berusia dua tahun itu memutarkan beberapa piece piano klasik dalam playlist yang gue buat: Sekoteng Hangat.
Kenapa, Rom? Kok Sekoteng Hangat?
Piece piano klasik selalu memberi gue perasaan senang, seolah-olah sehabis makan sekoteng hangat di malam yang dingin.
Setelah memutar satu piece dari playlist itu, gue memutar lagu "Cool" dari Gwen Stefani. Lagu pedih dengan nada catchy itu menceritakan tentang dua orang yang tetap berteman walau pernah berpacaran. Gue senang dengan nada lagu itu. Lagu yang cocok untuk didengarkan saat berjalan kaki sebelum matahari terlalu tinggi seperti sekarang.
We have changed but we're still the same
After all that we've been through
I know we're coolPersis setelah lagu itu mencapai lirik tersebut, gue melihat sosok Sofia masuk melalui pintu gerbang.
Gue berlari kecil menghampiri Sofia cepat-cepat. Ia tampak sedang mengobrol dengan Pak Nanang dan tak menyadari kalau gue melongok dari belakang –seperti yang tadi pagi Ayah lakukan pada gue.
"Pagi Romi," sapa Pak Nanang.
"Pagi, Pak," gue melambai ke arah Pak Nanang. Sofia terlonjak melihat gue dari belakang. Gue membayangkan, jika ia makan sereal seperti gue tadi pagi, lalu kaget seperti ini, hidungnya pasti perih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Recalling the Memory] Dari Mata Romi
Teen FictionCuplikan kisah "Recalling the Memory" dari sudut pandang Romi.