Dua

66 16 12
                                    

Manda diam seribu bahasa. Hatinya sakit melihat Zidan yang terduduk lemas dengan mata menerawang.

Dirinya sedang dirumah ketika Zidan menyuruhnya untuk datang kesebuah cafe,- tempat Zidan dan Riska menghabiskan waktu sebelumnya. Ya, Manda tahu.

Dia tahu segala kegiatan Zidan dan Riska. Dia bukan penguntit,- Zidan adalah pacarnya. Walaupun tidak ada yang tahu. Tidak sebelum Riska mengetahui semuanya.

"Nggak seharusnya gue kemakan omongan lo, Nda! Nggak seharusnya!"

Sejauh Manda bisa mengingat, kalimat ini sudah lebih dari sepuluh kali keluar dari bibir Zidan.

"Gue nggak bisa ngelepas Riska, Nda! Gak bisa. Gue sayang banget sama dia," Zidan menatap lekat Manda. Ada luka, tergambar jelas melalui sepasang manik mata itu.

Mereka terluka. Sama-sama terluka.

"Maaf," sepatah kata yang akhirnya mampu keluar dari bibir mungil Manda. Terdengar lirih, bahkan sangat lirih, dengan setitik butiran air yang melesat membasahi pipinya.

"Kenapa juga lo mesti datang ke kehidupan gue, Nda? Kalau tau bakal gini akhirnya, gue gak bakalan pernah mau kenalan sama lo."

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Riska menghempaskan tubuhnya diatas ranjang. Matanya sembab dan hidungnya merah. Rambutnya juga awut-awutan. Semakin berantakan lagi setelah seseorang mengacak rambutnya.

"Jelek banget sih lo kalau abis nangis,"

Cewek itu mendegus sebal, "Namanya juga cantik alami, wajar sesekali bisa jadi jelek. Emang kayak cewek lo, cantiknya buatan," sahutnya jutek seraya menyeka lendir yang meleleh dari hidungnya.

"Hahha, gue kaduin, ntar lo bisa dapet bogem mentah." Balas lelaki itu sambil tersenyum miring.

"Gue bisa duluan buat colok matanya pake heels, gimana? Keren, gak?"

"Colokkin aja. Tapi sayang, dia pasti udah pake helm buat ngantisipasi sepatu lo yang mematikan."

"Ah, dia nggak sepinter itu kok, Yok,"

Lalu mereka berdua tertawa bersama.

Aryo, teman akrabnya sejak TK sampai sekarang. Perawakan tinggi dan kurus sepertinya tidak pernah berubah dan sepertinya sudah menjadi ciri khasnya.

Tentu saja Aryo adalah cinta pertama Riska. Cuma Aryo dan hanya Aryo,—orang yang satu-satunya mau menemani Riska kemana-mana, bahkan rela menunggui dirinya di depan pintu toilet saat mereka masih berada di taman kanak-kanak.

Kini semua telah berubah, Aryo menjelma menjadi lelaki tampan yang memiliki banyak pengaggum. Mendapatkan pacar hanya dengan mengedipkan mata, sepertinya itulah kelebihan lelaki jangkung tersebut.

"Gimana kabar Felice? Dia masih sering ngerecokin lo pake bawang putih?" Tanya Riska.

Aryo menggeleng, "Nggak sih. Cuma,—"

"Cuma apa?" tanyanya kembali.

"Iya, semenjak dia baca salah satu cerpen dari penulis kesukaannya, tiap-tiap hari gue dinasehati."

Riska membenarkan posisi duduknya. Menunggu cerita Aryo dengan keingintahuan yang besar. "Dan kali ini tentang?" tanya Riska lamat-lamat.

"Lo tau chamomile, nggak?"

Gadis itu mengangguk.

"Nah, tentang itu."

Tak pelak lagi, Riska tertawa.

Felice, pacar Aryo yang dulunya maniak bawang putih dan selalu sesumbar bahwa bawang putih memiliki jutaan manfaat kini berganti alih dengan chamomile?

Bayangkan saja jika ada orang yang hari-harinya diisi dengan minum teh chamomile, mandi dengan sabun aroma chamomile, minyak aromaterapi chamomile, dan segala jenis lainnya yang berkaitan dengan chamomile. Riska benar-benar prihatin, sekaligus ingin mentertawai nasib sahabatnya ini.

Sementara Aryo merasa ada yang aneh dengan Riska. Derai tawanya kali ini berbeda. Lelaki itu paham betul, kali ini sahabatnya membutuhkan dirinya,—sebagai sahabat, bukan sebagai cinta pertama. Ada yang berbeda dari gadis itu sejak Aryo menemukannya tengah bersandar di sebuah ruko yang tertutup. Sisa-sisa air matanya memang telah mengering sepenuhnya, tetapi bekasnya tidak dapat disembunyikan. Tatapannya yang kosong, matanya yang sembab, ingusnya yang meler, dan juga bibirnya yang cemberut,

Aryo kini menatap Riska secara lekat, gadis itu sama sekali belum menyadarinya. Tawanya yang terdengar aneh masih berderai.

"Ris," panggil Aryo.

Gadis itu menoleh, "Hm? Lo mau cerita kalau pernah dibuatkan pancake pake chamomile, gitu?"

Aryo berdeham.

"Ayo, ceritain yang lainnya lagi, Yok," pinta gadis itu memelas. Matanya kini mulai berair, dan itu semakin membuat Aryo yakin bahwa Riska kini memang sangat membutuhkan dirinya.

Lelaki itu mengatur nafas, kemudian duduk ditepi ranjang milik Riska, menggenggam sebelah tangannya. "Ka," panggil Aryo pelan namun lugas, "gue kenal lo udah lama, dan gue hafal luar dalam tentang lo. Gue sekarang disini mau minta satu hal sama lo," katanya lembut.

"Apa? Tentang lo yang nyesel karna nggak bales rasa suka gue pas kita kecil?" tebak Riska ngawur. Berusaha menutupi kesedihannya.

"Bukan," jawab Aryo sambil menggeleng. Ini bukan waktunya bercanda, Ka, batinnya.

"Trus?"

"Tentang lo, dan apa-apa aja yang terjadi sama lo akhir-akhir ini. Gue sebagai cowo merasa gagal karna nggak bisa ngejagain sahabatnya,—cewek, lagi. Gue sakit ngelihat lo terpuruk kayak gini. Gue nyesel karna nggak bisa jagain lo terus-terusan, bikin lo sampai nangis gini. Gue juga gak tau siapa sialan yang buat lo jadi mewek gini. Ka, cerita ke gue. Atau kalau lo belum bisa cerita, gue bisa nunggu lo, Ka. Kapan pun. Gue janji, gue bakalan nyediain waktu buat lo," ujar Aryo, masih terus menatap lembut Riska.

Dan detik kemudian, sahabat perempuannya nya menangis. Menangis didalam dekapannya.

Hi hi hi everyone!!!!!!!! :) I would be very happy if u comment ur opinion below, and I promise I will answer everyone who does. Thank u so much for read this story, see u at next chapter. And, don't forget to vote, yeayy!!

Skeptic Love - "ketika cinta bertabur ragu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang