Tiga

61 17 12
                                    

Senin pagi yang mendung.

Bel upacara sudah berdering beberapa saat yang lalu, namun hiruk pikuk di lapangan kini kian menjadi-jadi. Para ketua kelas butuh usaha ekstra untuk mengatur posisi teman-teman sekelasnya.

"Sumpah gue tadi pagi doa-doa biar kita gak jadi upacara," ujar salah satu siswa di barisan kelas 12 IPS 4 kepada teman disampingnya.

"Gue juga nazar," sahut temannya.

"Apaan?"

"Gue bakalan,—"

"Bisa diam nggak sih kalian berdua?!" Sebuah suara perempuan memotong percakapan mereka.

Jonathan dan Tio langsung berdecak sebal, tapi tak berani membalas pelototan Riska yang berada di samping mereka.

"Kalian ini! Liat tuh ketua kelas udah teriak-teriak dari tadi! Baris aja nggak bener!" Katanya ketus sambil melipat tangan di dada.

"Kayak lo becus aja!" Ujar Jonathan sengit.

"Iya, kayak lo becus aja barisnya," Tio mengekor dengan takkalah sengitnya.

Ck, Riska tak menghiraukan lagi kedua biang ribut yang selalu berada di sekitarnya itu. Dia kemudian menghadap ke depan, membantu ikut mengarahkan barisan teman-teman yang ada di depannya.

Tepat satu menit lagi upacara akan dimulai.

Para ketua kelas pun kembali kebarisan masing-masing. Masih terdengar bisik-bisik di sana-sini, mengingat ini adalah upacara gabungan dari kelas sepuluh hingga dua belas.

"Tata upacara bendera, Senin, 16 November, tahun 20..." protokol mulai membaca tata tertib, namun Riska tak lagi mendengarkannya, matanya sibuk mencari-cari Karin di dalam barisan 12 IPS 3.

Riska menoleh kesamping kanan, mencari sahabatnya. Tapi tubuh Jonathan yang tegap membuatnya kewalahan.

"Ijon! Awas dikit bisa nggak, sih? Lo nutup-nutupi banget," bisik Riska pada Jonathan.

Cowok itu menaikkan sebelah alis, "Masa? Bukannya lo seneng gue ada disamping lo? Gue kan seksi abis. Six pax gitu, lho.." goda Jonathan sambil menaik-naikkan kedua alisnya.

"Ih nahjong banget!" Riska bergidik, kemudian dengan satu tangan, mendorong Jonathan ke belakang.

Tidak. Tidak ada Karin sama sekali.

Dia telat lagi? Tanyanya dalam hati.

"Ouch, sakit banget babang, dek. Babang gak bisa diginiin. Apalagi tadi babang dapat perlakuan kejam dari ibu tiri," Jonathan mulai bersandiwara, memegangi perutnya, dan menatap Riska dengan tatapan memelas.

Sementara yang ditatap, membalas dengan tatapan bengis.

"Sa.....kit," katanya lagi, merengek sambil mengusap-ngusap perutnya.

"Idih, geli gue, Jon! Kelakuan lo sama aja kaya Mimi Peri."

"Siapa Mimi Peri? Si Karin temen lo itu, bukan?" tanya Jonathan.

Kali ini giliran Tio yang menjawab, "Nggak, dia super model. Kalau lo ketemu, dijamin lo bakalan naksir. Emang sih, rada-rada nyebelin gitu, makannya si Riska geli," bohong Tio yang disambut tawa oleh Riska.

"Iya, cocok bet dah sama lo, Jon," dukung Riska sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Ah, masa?" tanya Jonathan, "gue ini punya kegantengan hakiki, lho. Nggak sembarangan orang bisa bersanding sama gue," jelas cowok itu dengan nada sombong.

"Ganteng hakiki pantat lo!" Sembur Tio masam.

Jonathan menoleh, "Jangan sirik ya, tapi gue ini jauh lebih menarik dari anak IPA yang jadi pujaan cewek-cewek disekolah kita."

"Oh ya? Siapa?" tanya Riska, jelas tidak tertarik.

"Muka kayak sambal terasi, jangan kepedean terlalu tinggi deh, Jon." hina Tio.

"Eh, yang mukanya kayak kain pel, mending diam aja. Nggak usah komentar soal orang ganteng," balas Jonathan sengit.

"Jadi siapa orang yang lo bilang kalah ganteng sama lo?"

Jonathan menarik nafas kencang, menghembuskannya tepat di telinga kiri Tio, dan bekata, "Jelas gue lebih ganteng ketimbang Zidan si anak IPA."

Deg.

Tepat saat itu hujan turun. Upacara mendadak bubar, bahkan sebelum pengibaran bendera dilakukan.

"Oh ya, Jon, soal nazar gue tadi,—ntar kalau dikelas lo bakalan tau deh!" teriak Tio, mengalahkan suara rintikkan hujan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Rin, kebiasaan telat lo emang gak bisa berubah ya?"

Karin mengunyah makanannya sebelum berkata, "Gue udah usahain yang terbaik lho, Ka."

"Terbaik nenek moyang lo. Kalau aja tadi nggak hujan, udah habis deh lo dijemur sampai siang," kata Riska bersungguh-sungguh.

Kantin kali ini sepi, tak banyak murid yang nongkrong disini. Mungkin banyak diantara mereka memilih untuk tidur di dalam kelas. Maklum, udara yang dingin, ditambah gerimis yang belum reda, memang menjadi faktor utama untuk bertahan di dalam kelas.

Karin tertawa kecil, "santai aja. Udah biasa juga gue dihukum begituan."

"Kebal ya," guman Riska sambil mengangguk-angguk.

"Yoi. Ngomong-ngomong," Karin melirik Tio dan Jonathan yang berada tidak jauh dari meja mereka, "Sejak kapan Tio punya benjolan di jidat?" tanyanya ketika terlihat jelas benjol di kening Tio. Seperti memar terj—

"Gue jedukkin ke meja," sahut Riska cuek.

Karin membelalakkan mata, "W-what? Gimana bisa? Kok? Dia kurang ajar lagi sama lo?" pertanyaan-pertanyaan itu keluar dalam satu tarikan nafas.

Riska mengangkat bahu, "Mung-kin. Tapi itu balasan setimpal buat orang yang bikin nazar mau ngerjain gue." jawabnya ketus. Riska tau, saat ini Tio tengah menatap dendam kearahnya.

"Ehm, Ris," panggil seseorang yang berada di tepi meja saat Riska sedang menyuap bakso kedalam mulutnya, "aku mau ngomong sama kamu."

"Ngomong aja disini." jawab Riska santai, sama sekali tidak menatap orang itu.

"Enggak, Ris, enggak bisa. Kita harus bicara empat mata,"

Karin menaikkan sebelah alisnya, "Gue juga gak boleh denger, gitu?"

Orang itu menggeleng, "Kamu nggak ada urusannya dengan ini, Karin."

"Oke-oke, jadi kali ini tentang apa?" tanya Riska was-was.

Orang itu menarik nafas berat, "Kamu, aku ... dan Zidan."





Skeptic Love - "ketika cinta bertabur ragu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang