Delapan

33 6 0
                                    

Pandu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap lurus langit-langit kamar dengan tatapan sayu. Seragam pun juga masih menempel ditubuhnya. Padahal sudah lebih dari tiga jam kepulangannya dari sekolah.

"Ndu?" Seseorang masuk kekamarnya yang ternyata tidak dikunci.

Cowok itu menoleh dan kemudian tersenyum tipis, "Eh, kenapa, Bun?"

Amira,—menatap putra sulungnya dengan tatapan penuh kasih sayang, "Lagi mikirin apa, nak?"

"Nggak lagi mikir apa-apa kok, Bun," sahut Pandu, yang kemudian memilih mengubah posisi menjadi duduk. "Serius," sambungnya lagi begitu melihat raut ketidakpercayaan yang dipancarkan bundanya.

Tentu saja Amira tidak yakin dengan apa yang telah diucapkan anaknya. Terlihat dari wajahnya, Pandu jelas tengah menyembunyikan sesuatu hal.

Amira melangkah perlahan, lalu duduk dipinggir tempat tidur anaknya, "Beneran nih? Gak mau cerita ke Bunda?" Tanya Amira lembut, seperti biasanya.

"Hm," Pandu berdeham sambil mengangguk mantap.

"Yaudah deh kalau gitu. Habis ini kamu makan malam ya. Trus jangan lupa belajar, jangan tidur terlalu malam," nasihat Amira begitu dirinya beranjak meninggalkan kamar anaknya.

"Sipp Bunda."

Wanita itu tersenyum dan mulai melangkah keluar kamar. Sekilas sempat memperhatikan sesuatu yang terpanjang diatas meja belajar anaknya. Foto seorang gadis dengan dua kucir yang terlihat sangat manis.

Lagi-lagi Amira tersenyum simpul. Anaknya kini telah beranjak dewasa. Walaupun Pandu bukanlah anak kandungnya, tetapi menyaksikan perkembangan anak itu dari kecil hingga sekarang, membuatnya bahagia. Sangat bahagia.

Dan sebuah fakta lagi ketika ada seorang gadis yang ditaksirnya, membuat Amira jauh lebih bahagia. Setelah sekian lama, akhirnya Pandu benar-benar bisa melupakan ketakutannya.

Yeah, ketakutan yang selama ini selalu menghantui pikiran anaknya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Malam ini Aryo lebih memilih menghabiskan waktu bersama temannya. Tidak, bukan Riska, —ataupun temannya yang lain. Melainkan Pandu. Duduk bersantai di balkon kamar Pandu sambil memetik senar gitar secara perlahan.

"Ganggu banget sih," ketus Pandu sambil berusaha fokus dengan materi yang dipelajarinya.

Aryo menoleh dan mencibir dari luar, "suka-suka gue dong. Lagian jadi orang jangan sok rajin gitu," katanya santai lalu semakin keras menggenjreng gitarnya.

"Setidaknya aku rajin menghasilkan prestasi, nggak kayak kamu," sahut Pandu singkat. Namun seolah menusuk Aryo yang langsung menghentikan kegiatannya.

Namanya juga Aryo! Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, "Buat gue, prestasi gak penting. Apalagi dapetin rangking di kelas. Bukan guee banget," jawab Aryo santai, "kayak ciwi-ciwi aja deh lo, rebutin rangking begituan."

Pandu terdiam.

"Nih ya, Ndu, coba deh lo sekali-kali lebih menikmati hidup. Jangan cuma belajar terus. Bosan tau! Nongkrong kek, main futsal kek, godain cewek yang lewat kek,—eh, yang terakhir itu yang paling keren. Atau apalah gitu, yang ngebuat lo lebih menikmati masa remaja lo sebagai pejantan. Bukan betina yang hobi ngedekem dikamar doang, yang takut panas lah alasannya kalau diajak keluar,—kecuali kalau diajak jalan plus dibayarin, itu lain cerita.

Setidaknya pas lo udah tua, itu bakal jadi masa-masa yang indah buat dikenang, apalagi ngenangnya bareng temen-temen lo. Gue, contohnya," Aryo menatap Pandu yang masih terdiam.

"Aku anak baik, Yo," kata-kata itu meluncur dari bibir Pandu. Nadanya lirih, dan terdengar gemetar saat mengucapkannya.

Aryo mengangguk, lalu menghampiri sahabat baiknya, "Gue juga anak baik, Ndu. Gue gak minum-minum, gue gak narkoba, gue gak durhaka ke bonyok, gue kalau mau kemana-mana ngabarin nyokap gue dulu, gue kadang berbaik hati nganterin pembokat gue ke pasar, gue kadang juga nyapu halaman, kadang-kadang gue ngelapin sepatu kerja bokap. Gue anak pak Budiman, Ndu, Bagus itu juga nama tengah gue, Aryo Bagus Saputra."

Aryo benar-benar receh.

"Yang kamu sebutin barusan itu rata-rata bohong semua, Yo. Gimana bisa aku percaya?"

"Yaah, sebenarnya sih gak percaya juga gak apa-apa, gue cuma mau nyombongin diri gue sendiri," Aryo menaik-naikkan kedua alisnya.

Pandu kembali terdiam, kalau dipikir-pikir lagi, ada benarnya juga perkataan Aryo,—sekaligus dalam artian hidupnya sudah seperti drama-drama yang melankolis. Dirinya cukup sadar, bahwa cinta benar-benar telah membuatnya terpuruk. Kehilangan cinta dari ibu kandung yang begitu saja meninggalkannya dan kehilangan sahabat sejak kecil yang dicintai memang telah meninggalkan goresan di dalam hati seorang Pandu. Menciptakan kenangan buruk yang masih terus menghantuinya hingga saat ini.

Hanya ada satu hal yang harus dilakukan Pandu untuk menghentikan semuanya. Satu hal yang jika tidak dilakukan akan membuatnya hidup selama-lamanya di dalam kenangan suram.

Dia harus berubah.

Harus,—atau tidak sama sekali.

Keputusan yang harus diambilnya cepat atau lambat.

"Ndu, lo nggak lagi kesambet jin, kan??" Aryo menatap cemas Pandu yang sedari tadi tak bersuara. Perasaannya mulai tidak enak, khawatir apabila Jin Tomang mulai menguasai raga sahabatnya yang satu ini.

Dan jika hal itu memang benar terjadi, sorry to sorry, Aryo akan memilih lari secepat kilat dari rumah Pandu.

"Ndu?" panggil Aryo lagi.

"Hm?" Pandu menoleh.

Aryo bisa bernafas lega, "kemana nyawa lo barusan?"

"Yok?" Pandu menatap datar Aryo, "gue mau berubah."

"Hah?"

"Gue mau berubah."

Aryo kembali menaikkan sebelah alisnya, "Gue? Gak salah denger kan gue kalau lo make gue-gue-an?" tanya Aryo. Jelas saja dirinya begitu terkejut.

Setelah sekian lama akhirnya Pandu menggunakan kembali bahasa gue-elo.

Pandu. Siapa sih yang bisa menebak seperti apa dulunya?







Gue kembali o.ee. Setelah hampir sebulan (lebih deh kayaknya) nggak ngelanjutin cerita ini. Uu, maaf banget ya, karna emang nggak sempat banget T.T btw, gue jadi maba lagi:') harap maklum ya, pantes aja sering ngaret.

Skeptic Love - "ketika cinta bertabur ragu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang