Satu

115 23 18
                                    

"...Ka, lo ngerti kan gimana perasaan gue? Ngerti kan, Ka? Sumpah gue benci banget sama dia. Kaa, tolongin gue, gue mesti gimana?"

"Iya, Rin, iyaa. Gue ngerti banget. Gue juga kalau jadi lo, udah habis deh kamar gue berantakkin."

"Jadi menurut lo, gue mesti ngacak-ngacak kamar gue juga, Ka? Biar kayak di sinetron-sinetron itu?"

"Gak. Gak usah. Malah lo keliatan tolol banget."

"Berarti lo tolol dong, Ka."

"Iya, dulu."

"Tolongin gue dong, Ka. Gue gak tau lagi mesti gimana.. Hiks... Sakit banget hati gue, emang sialan banget tuh cewek ngerebut cowok gue. Otaknya gak ada, Ka. Sialan."

"Emang sialan banget si nenek lampir."

"Trus cara Diko mutusin gue juga nggak enak banget. Coba lo bayangin, mutusin lewat dm instagram! Lewat dm lho, Ka! Dm!"

"Tuh cowok emang gaada nyalinya. Dulu juga nembak lo lewat dm twitter, kan? Hm... udahlah, Rin, lupain aja. Toh cowok nggak cuma dia doang yang cakep."

"Tapi gue nggak rela, Ka. Eh, masih belum rela."

"Kalau lo kayak gini terus, kapan lo bisa maju, Rin? Bayangin, cowok lo,-eh sorry, mantan lo aja udah punya gandengan baru. Masa lo masih  nangis darah sampai pingsan trus masuk rumah sakit."

"Namanya juga cinta, Ka."

"Itu bukan cinta, Karin ku sayang. Itu namanya lo emang terlalu goblok."

"Gitu ya, Ka? Jadi sekarang gue mesti gimana?"

"Yaudahlah, tinggal rise and shine. Bangkit dari keterpurukan. Lo cantik, setidaknya lo bisa cepet dapatin cowok lagi."

"Kalau itu gue tau, gue emang cantik. Makasih ya, Ka. Lo emang sahabat terbaik gue. Gue jadi kangen bet sama lo."

"Baru dua hari gak ketemu udah kangen. Inget besok hari Senin, dateng cepat! Jangan pake telat! Jangan sampai nangis dulu sebelum berangkat!"

"Okey sayangku."

"Yaudin, gue tutup teleponnya. Geb bhay."

"..."

Riska meletakkan handphone di atas meja, menoleh ke samping kanan, "Biasa, Karin curhat ke gue," Katanya tanpa ditanya.

"Tentang Diko?"

"Ya gitu deh, masalah yang udah sering banget dia alami," Riska membalas cuek sambil menyeruput es teh miliknya.

Sepasang mata tak henti menatap lekat kearah gadis itu, ada kehangatan yang terpancar dari matanya. Lelaki itu mencintai Riska. Dan Riska juga tau itu. "Boleh gue tau gimana ceritanya? Gue gak bakalan ember, kok. Sumpah."

Alis Riska naik sebelah, "Beneran lo mau tau?" tanyanya.

"Idih, gak percaya lagi sama pacarnya sendiri," sahut Zidan sambil mengelus puncak kepala Riska.

Gadis itu tersenyum miring, lalu merubah posisi duduknya. Kini dia sudah berhadapan dengan Zidan.

"Diko, si cowok brengsek itu,-maksud gue," Riska memulai ceritanya, "dia mutusin Karin lewat dm instagram. Karin gak terima banget dong. Setidaknya mereka coba buat ngomong langsung. Bukan pake media sosial."

Zidan mengangguk pelan, mengerti akan masalahnya, "Tapi setau gue, Diko emang dari dulu kayak gitu, kok. Nggak pernah berubah. Nggak laki banget."

"Nggak cuma itu," lanjut Riska, "ternyata emang Diko udah deket sama Cecil pas dia masih pacaran sama Karin. Dan Cecil itu juga bisa dibilang lumayan akrab sama Karin. Ya apa nggak kaget aja si Karin pas tau Diko langsung pacaran sama Cecil. Gue juga kalau jadi Karin, bakal gue siram mukanya Diko pake air got." sambungnya dengan nada sungguh-sungguh. Dia melirik sekilas ke arah Zidan. Tak ada ekspresi di wajah itu. Begitu datar.

Riska tersenyum kecut.

"Gimana menurut lo?" pancing Riska.

"Hm?"

"Ya gimana? Kalau lo jadi gue, lo setuju gak sama apa yang bakal gue lakuin? Apa lo punya usulan yang lebih bagus lagi? Ditampar, misalnya? Kayak di film-film."

Zidan menatap Riska, "Gue gatau, yang. Gue rasa berat jadi cewek yang dicampakkin sama pacarnya." katanya sambil mengaduk minumannya.

"Mungkin kata dicampakkin kayaknya terlalu kasar deh, coba diganti sama kata ditinggalkan. Tapi itu kayaknya nggak berlaku sama kita kan, yang?" koreksi Riska.

Kening Zidan berkerut, benar-benar tak mengerti akan maksud dari ucapan Riska. "Maksud kamu gimana nih, yang?"

"Gak gimana-gimana. Tapi lo nggak bakal ninggalin gue kan, Dan?"

"Enggak akan." sahut Zidan mantap.

Riska tersenyum tulus, menggenggam tangan Zidan yang dingin. Menatap tepat dikedua bola mata itu, seakan berbicara hanya melalui tatapan. "Tapi gue yang bakal ninggalin lo duluan," katanya kemudian.

Lalu sebuah tamparan mendarat telak di pipi lelaki itu. Meninggalkan jejak merah, tanda gadis itu memang sungguh-sungguh meluapkan emosinya.

"JANGAN KIRA GUE GAK TAU KALAU LO PACARAN DIAM-DIAM SAMA MANDA, ZID. Gue gak buta, gue gak tuli, dan gue gak bisu!"

Dia,- gadis itu,-pergi. Membawa sejuta amarah yang masih berkecamuk di dalam hatinya. Yang masih membara-bara dan menuntut untuk dilepaskan. Tangannya berdenyut, rasa pedas saat menampar Zidan masih terasa. Hatinya sakit, membuat beberapa butir air mata menetes perlahan dari kedua matanya. Saat ini dia butuh pegangan,-setidaknya sandaran. Kaki-kakinya saja bahkan terlalu gemetar untuk menopang tubuhnya berdiri tegap.

Yang dia rasakan hanya satu, kecewa.






Next?


But the first, u must vote this chapter, OK?

Skeptic Love - "ketika cinta bertabur ragu"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang