1 - Mimpi Buruk Kaili

46 6 8
                                    

Kaili mengacak rambutnya frustrasi. Surai hitam panjangnya itu kini lebih pantas disebut sarang burung. Berantakan. Sama sekali tidak ada jejak sisir di sana. Ikatannya bahkan sudah melorot sampai bagian bahu.

Matanya tidak berhenti menatap ke depan, tepat mengarah pada kedua temannya yang beberapa saat lalu bercerita dengan heboh tentang penghuni baru jurusan sebelah. Bulatan itu sempat berbinar, tapi hanya beberapa saat. Sekarang, matanya sayu dengan pandangan kosong. Jiwanya pergi, entah ke mana.

Di depannya, Adelia dan Rina balas menatap aneh. Kaili yang mereka kenal jarang menampilkan ekspresi seperti ini. Biasanya, jika mereka tengah bergosip--apalagi tentang cowok dengan rupa di atas rata-rata, maka Kaili akan menanggapi dengan sangat antusias. Minimal, menjerit histeris. Tidak melamun seperti sekarang.

Tangan Adelia terangkat perlahan, bergerak-gerak di udara untuk menyadarkan Kaili. "Hey, kamu kenapa? Ngedengerin gak, sih?"

Tidak ada jawaban. Kaili tetap bergeming, hanya tangannya yang bergerak turun dan berhenti di atas meja. Pikirannya mulai bercabang saat Adelia membocorkan nama cowok baru itu. Perasaannya memburuk. Ingatan saat ia masih mengenakan seragam putih merah bergerak semakin liar, menghabiskan kapasitas pemroses memori di kepalanya. Kaili bisa merasakan aura dari mimpi buruknya yang sudah kembali.

Perlahan, kesadaran mulai menghampiri Kaili. Kepalanya kembali terangkat setelah tertunduk beberapa saat. Adelia dan Rina menunggu dengan penasaran. Ekpresi mereka hampir sama dengan seseorang yang tengah memeriksa nomor undiannya ketika pembagian hadiah dari acara gerak jalan santai. Sama sekali tidak berkedip.

Kaili memperbaiki posisi duduknya dan bergerak sedikit maju. Kepalanya ia condongkan ke arah depan dan siap berbisik. Melihat hal itu, baik Adelia maupun Rina tidak tinggal diam. Mereka bergerak, mengikuti apa yang sempat Kaili lakukan.

"Na-namanya siapa tadi?" bisik Kaili gugup. Dia masih belum kembali pada dirinya yang biasa.

"Apa?" Adelia semakin mencondongkan badannya ke arah Kaili. Mengarahkan telinga kirinya semakin dekat.

"Nama ... namanya tadi siapa?" tanya Kaili lagi dengan menambah sedikit volume suaranya. Matanya sedikit lebih hidup sekarang, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap apa yang didengarnya tadi hanya kesalahan.

"Ooh, namanya Rama--"

"Anggara," sela Rina, padahal Adelia belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Rina yang biasanya sedikit kalem jadi lebih bersemangat setelah melihat reaksi Kaili.

Adelia memajukan bibirnya sebentar karena kesal sambil melirik Rina, tapi segera menarik sudut bibirnya dan menatap Kaili. "Iya, pokoknya Rama apa gitu, terus ada Anggaranya."

"Iya, Li. Kita gak inget nama lengkapnya, tapi orangnya oke. Wajahnya mirip orang luar. Cocok banget buat jadi bahan cuci mata," timpal Rina seraya mengacungkan jempol kanannya.

Kaili menggeleng lemah. Dia semakin terpuruk. Itu pasti bukan dia, batinnya. Cowok itu pasti bukan Gara yang dia kenal. Tidak mungkin cowok itu kembali lagi ke sini.

"Kamu kenapa? Kok jadi aneh gini? Biasanya juga seneng kalo stok cowok ganteng nambah." Adelia menatap Kaili horor kemudian kembali beradu pandang dengan Rina lalu saling mengangkat bahu bingung.

Kaili melihat kedua temannya ragu. Pikiran dan hatinya semakin tidak sinkron. Satu sisi, dia ingin memiliki pikiran positif dan tetap meyakini bahwa cowok itu bukan Gara, dan sisi yang lain tetap ingin memastikannya. Pada akhirnya, rasa penasaran lebih mendominasi dirinya. Dia mulai berbisik lagi, "Ramania Anggara?"

Suara yang keluar dari mulut Kaili sangat pelan. Tertutup dengan baik oleh keributan lain di sekitarnya. Jelas saja, ini merupakan waktu pergantian jam. Bu Ema baru saja keluar beberapa saat yang lalu. Kelas berubah seketika menjadi studio televisi dengan acara gosip di mana-mana. Meskipun demikian, dua orang di depannya itu tetap membelalakkan mata secara bersamaan.

Gara-Gara GaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang