Pusing, itu yang Kaili rasakan sekarang. Kepalanya bagai berputar-putar dan telinganya berdengung. Belum lagi isi pikirannya yang semrawut, menambah buruk keadaan.
Kaili menunduk sambil memegangi tengkuk dan mengusapnya. Bibir tipisnya terus merutuk pelan, betapa sialnya dia hari ini.
"Kail?"
Suara itu berhasil membuat aktivitas tangannya berhenti. Kaili berpikir sejenak, memaksa isi kepalanya yang masih setengah sadar itu untuk bekerja, menebak siapa gerangan yang kembali memanggilnya dengan panggilan paling buruk yang pernah ia dapatkan itu.
Meski ragu, Kaili tetap mendongak. Di sampingnya, berdiri seorang cowok jangkung yang sebelumnya berada di dalam kelas dan sempat membuat jantung Kaili hampir copot tadi. Tangan kanan cowok itu kini terulur ke arahnya.
Kaili melirik cowok itu, lalu kembali ke tangannya. Setelah merasa yakin, dia mulai menerima uluran tangan itu dan mencoba berdiri. Kaili kemudian menepuk-nepuk belakang roknya yang sedikit kotor.
"Kail, bola basket itu mainnya harus pake tangan, bukan kepala," cibir cowok itu sambil menyeringai.
Begitu mendengarnya, Kaili segera menoleh dan menatap sosok kurus itu tidak suka. "Itu salah mereka aja yang main lempar sembarangan," ucapnya sambil menunjuk ke arah lapangan.
Orang-orang yang sebelumnya bermain basket itu sekarang tengah berkumpul di ujung lapangan dan menerima arahan dari guru olahraga. Mereka bahkan tidak meminta maaf sama sekali setelah membuat dirinya roboh ke lantai.
Cowok di sebelahnya tidak menjawab. Dia hanya memerhatikan ekspresi kesal Kaili.
"Kamu Gara, kan?" tanya Kaili karena tidak mendapat respon apa-apa.
"Gue?" Cowok itu menunjuk dirinya sendiri. "Albert."
"Huh?" Kaili mengernyit heran. Matanya menatap lurus iris mata lawan bicaranya.
"Albert. Albert Eingara," jelas cowok itu kemudian tertawa pelan.
Kaili cemberut, kesal. "Kamu bener Gara, kan? Kenapa bisa pindah ke sini?"
Cowok itu mengangguk. Masih dengan tawa yang menempel di wajahnya, dia mencoba menggoda Kaili. "Lo seneng kan, gue ke sini lagi?"
Lagi-lagi Kaili merasa langitnya runtuh. Bagaimana bisa? batinnya bertanya. Dia mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding kelas yang dingin. Badannya kembali lemas. Kenyataan pahit yang baru saja diketahuinya itu telah merusak kerja tulang penyangga tubuhnya.
Kaili memikirkan cara apa yang bisa ia gunakan agar dapat menghindari makhluk di sampingnya. Apa dia harus pura-pura pingsan? Atau perlukah ia membenturkan kelapanya ke dinding sekali lagi? Kaili menggeleng. Tidak, tidak, itu terlalu menyakitkan, batinnya.
Ketika gadis itu masih bergulat dengan pikirannya, bel pulang berbunyi. Sesaat kemudian, dia baru menyadari bahwa tangannya sudah ditarik menerobos kerumunan manusia yang saling berburu menuju gerbang sekolah.
"Eh? Mau ke mana?" tanya Kaili panik.
"Gue butuh guide."
***
"Sekarang lewat mana?"
Kaili tersentak kaget dan segera menghentikan langkahnya. Dia hampir saja menabrak punggung Anggara karena cowok itu berhenti mendadak.
"Sekarang lewat mana, Kail?" Anggara kembali mengulangi pertanyaannya sambil menoleh ke arah Kaili.
"Apanya?" jawab Kaili bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-Gara Gara
Teen FictionIni lebih dari sekadar mimpi buruk. Ini juga tidak lebih baik daripada saat ayahnya mengetahui bahwa dia mendapatkan nilai tiga saat ulangan matematika. Kaili terus merapal doa sepanjang perjalanan menuju kelas yang sudah disebutkan Adelia. Dia berh...