The Roses

182 11 10
                                    

"Kau itu apa, vampir? Apa kau akan menghisap darahku?!",
Hana menarik-narik bajuku, mencoba menggodaku.

"Hentikan, itu konyol sekali, Na. Lihat aku, aku ini manusia tahu."

Terkadang aku merasa jengkel pada Hana, Bercandanya renyah sekali. Memang agak susah untuk tertawa karena hal itu. Atau mungkin, karena hari ini akan diadakan ulangan sastra aku menjadi sedikit sensitif. Ku akui sudah bertahun-tahun aku tidak pernah akrab dengan pelajaran sastra.

Tetapi hari ini agak berbeda.. Saat aku duduk bersama Hana di bangku koridor kelas. Aku sibuk menatap mawar merah yang bermekaran di taman seberang.

"Ada apa, Shanon? Mengapa kau bersungut-sungut begitu?.. Ah, maafkan aku! Aku hanya bercanda tadi kok!" Wajah Hana terlihat sangat menyesal dan panik.

Aku kaget, ekspresi Hana membuatku ingin tertawa.

"Tidak apa apa kok, tak usah kau pedulikan. Aku hanya memikirkan sesuatu.." Aku kembali terdiam.

Tanpa terasa bel masuk berbunyi dengan lantang. Aku dan Hana segera kembali masuk ke dalam kelas. Aku duduk di bangkuku yang bersebelahan dengan Hana. Yah, kami teman sebangku.

Aku sudah siap dengan kertasku. Aku memperhatikan Hana yang sibuk mempersiapkan alat tulisnya. Sepertinya Hana bersemangat sekali sejak tadi pagi. Senyumannya mengisyaratkan kabar yang baik.

"Setidaknya kau bisa beritahu apa yang terjadi dengan senyumanmu itu ?" aku berkata bosan dan mencoret-coret secarik kertas.

Hana kelihatannya terkejut akan ku yang sepertinya belum tahu ini, "Eh, kau belum tahu? Itu loh, ibu Diana akan mengawas kita."

Seketika mood sastraku kembali mendengar kata-kata Hana barusan. Meski aku sudah tahu hasilnya nanti.. Tetap saja, ibu Diana adalah guru yang terbaik. Tapi sepertinya itu hanya menurut kami berdua. karena dari tadi mataku menyapu sekeliling dan tidak ada yang terlihat berminat bertemu ibu Diana.

Beberapa saat kemudian, Ruangan terasa sangat senyap saat kami mendengar suara high heels ibu Diana mulai menapaki lantai kelas.. Badan tingginya yang dipadukan rambut sebahu, Kacamata hitam diatas kepala dan tak tinggal pula jam branded di tangan kirinya. Kami berdua saling tatap kegirangan. entah apalah alasannya. Boleh ku akui, ibu Diana sudah seperti model fashion terbaru.

"Semuanya keluarkan kertas ulangan.." Ibu Diana berkata sambil melepaskan kacamatanya. Ia mengambil sebuah spidol, dan mulai menulis soal ulangan sastra di papan tulis.

Sejenak, aku kembali melirik sekitar, semua orang nampak tertunduk. Apa yang mereka pikirkan? Ibu Diana tidak akan memakan mereka.

***

Setelah selesai mengerjakan ulangan sastra itu, aku keluar kelas dan memutuskan untuk kembali memperhatikan mawar-mawar yang bermekaran di seberang kelasku.

"Aku akan melihat bunga mawar ini sebentar, sekalian menunggu Hana selesai mengerjakan ulangannya.."

Aku berjongkok di hadapan taman kecil itu. Aku menyentuh salah satu kelopak bunga mawar dan mengelusnya perlahan. Bisa kurasakan halus kelopak merahnya.

Bunga mawar.. mengapa warna mataku sama sepertimu..

***

Hana telah selesai mengerjakan ulangan dan menghampiriku di taman mawar. Sekilas, ia terlihat seperti Ibu Diana, karena potongan rambut mereka yang sebahu. Hanya saja, Hana mengenakan bando biru.

"Shanon, bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar di koridor kelas?" Hana menawariku.

Aku mengangguk setuju.

Suasana koridor kelas lengang. Kami berdua memutuskan bercerita melepas penat setelah ulangan sastra barusan, Sambil ku tatap lantai keramik yang berirama oleh langkah sepatuku.

Hana bisa membuat semua terasa baik saat aku kerap kali termenung. Contohnya saja seperti waktu itu.. saat hari pertama aku menginjak kelas 1 SMA.

Saat itu, aku diantar oleh ayah masuk gerbang sekolah. Aku merapikan rambutku yang tergerai sepinggang.

"Ayah, apa semua akan baik-baik saja?" Aku melihat ayah dan mengerutkan kening.

"Tenang saja, semua akan indah pada saatnya." Ayah berkata seraya jemari tangannya dengan lembut mengusap pipiku di sela helaian rambutku.

Mata ayah sangat dalam dan tenang. Namun ada ketegasan di sana.. Itu selalu membuatku merasa nyaman.

"Terima kasih, ayah.."

Aku perlahan berjalan ke dalam pintu gerbang. Melambaikan tangan pada ayah sebelum berpisah, kemudian aku berbalik dan mulai berjalan ke kelas.

Pertama yang kulakukan adalah menundukkan kepalaku dan hanya menatap ke bawah. Beberapa saat kemudian aku melirik kiri dan kanan. saat tak ada yang memperhatikan, aku berlari secepat mungkin menuju kelas. Tiba-tiba..

Jdugh!
Aku tersandung batu.

"A-aduduh.." Aku meringis. Sepertinya aku menabrak sesuatu.

"apa kau tidak apa-apa ?"

Seorang anak perempuan berambut pendek mengulurkan tangan padaku. Hm... Sepertinya aku baik-baik saja.

"i-iya, aku tidak apa-apa.." Aku menolehkan wajahku dan menatapnya.

Matanya membesar dan terpaku beberapa saat.. T-tunggu, bukankah dia melihat mata ku?!

Aku segera menunduk kembali.

Ia memiringkan kepalanya untuk melihat wajahku.

"Halo.. Namamu siapa??"

"... S-shanon."

"Oh, hai Shanon! Namaku Hana. Salam kenal!"

"Apa kau sedang mencari kelasmu? Kalau begitu ayo kita cari bersama!"

Aku menoleh padanya dan mengangguk. perlahan aku berdiri dan mulai berjalan. hanya saja aku menatap ke lantai.

"Omong-omong, kau cantik sekali. Kau lebih cocok menjadi seorang putri kerajaan aku rasa."Ia tersenyum lebar lagi sambil melihatku.

Saat itu aku sangat menyukai Hana. Hana adalah teman perempuan pertama ku yang mengatakan hal seperti ini.

Karena mata ini juga aku kerap kali diusik oleh yang lain khususnya murid perempuan. Mereka selalu bilang aku aneh.. Namun, Hana selalu melindungiku. Hana bilang mereka hanya iri, atau sebenarnya ingin dekat denganku.

"..."

"Shanon? Apa kau mendengarku? Hei."

Aku kembali tersadar oleh lambaian tangan Hana.

"O-oh, maaf. apa katamu barusan?" aku menggaruk kepalaku.

"... Tidak jadi." Hana berkata sambil tersenyum singkat.

***

Koridor terasa lengang sejenak, lalu ramai oleh suara bermain dan percakapan warga sekolah.

"Hei, Shanon. Bagaimana dengan matamu itu? Apa sudah ada kemajuan?" Hana terlihat antusias.

"Eh, be ...." Kalimatku terputus saat hendak menjawab.

Tiba-tiba saja di sekolah terjadi gempa kuat. Aku melihat sekitar. Beberapa orang lari kocar-kacir dari beberapa ruangan di depan kami. Beberapa berteriak tak karuan.

"A-apa yang terjadi?!" aku berteriak berusaha mengalahkan suara gaduh.

Sulit sekali untuk menyeimbangkan posisi berdiriku. Tanganku sampai menyentuh dinding.

"Mana kutahu!" Hana juga terlihat berusaha menyeimbangkan badannya.

Hana berpikir sejenak. kemudian ia berjalan ke arah sebuah ruangan di depan kami.

Red EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang