Run Away

124 7 3
                                    

Tanganku tertarik ke belakang oleh ayah. Aku berusaha menahan badanku dari benturan badan-badan di sekitarku. Hingga kemudian aku keluar dari tempat itu. Aku dapat bernapas lega. Di saat..

"Shanon."

"I.. Iya?" aku menoleh pada ayah.

"Makan pil ini.."

Ayah mengeluarkan dua buah pil dari plastik obat dan satu pil ia berikan padaku.

"apa ini?" Aku menatap pil itu di telapak tanganku dan langsung menelannya.

"Itu... Pil cinta..." Ayah menatapku datar.

"Eeeh??!!..."

Mukaku benar-benar memerah. Yang benar saja! Mengapa ayah memberi obat aneh-aneh di saat seperti ini?!

"Kenapa? Tenang saja, Aku hanya main-main." Ayah tertawa geli.

"Ayaahh!! Hentikan itu!!" Aku marah tetapi aku tak bisa menahan tawa.

Tapi, tawa kami langsung terhenti saat mendengar sesuatu yang besar bergelinding kemari.

Aku melirik ke arah pintu ballroom. Bola mata itu hendak menerobos pintu kaca. Yah, ukurannya terlalu besar untuk pintu itu.

"Shanon. Ayo cepat lari!"

Tak ada waktu untuk tertawa, aku segera balik belakang dan berlari secepat mungkin.
Ayah berlari di sampingku.

Ada yang aneh. Aku merasa lariku lebih ringan dan berlari 3 kali lebih cepat daripada lari normalku. Ayah juga. Apa waktu dipercepat atau.. Pilnya?

"Jadi.. Apa pil yang ayah beri ini untuk menambah kecepatan??" aku berkata sambil tetap memperhatikan jalanku.

"Lebih tepatnya untuk menambah stamina berkali-kali lipat." Ayah meluruskan.

Oh, begitu. Aku menoleh sekilas ke belakang. Mata itu tidak terlihat lagi.. Mungkin karena kami sudah di sisi lain dari gedung ini. Kami berhenti sejenak.

Kalau begitu, apa yang selanjutnya harus kami lakukan?
Sebelum aku angkat bicara, ayah telah lebih dahulu memberi usul.

"Cepat masuk ke ruangan kaca di sana." ayah menunjuk sebuah ruangan di sebelah kiri kami.

Aku langsung berlari dan membuka pintu kaca itu.
Aku dan ayah segera masuk. kemudian kami mengganjal kembali pintu kaca itu dengan barang barang di sekitar kami. Keteganganku akhirnya bisa reda untuk beberapa saat.

"Untung saja pintu kaca ini tidak terkunci tadi." aku menghembuskan napas lega sambil bercakap pinggang.

Mataku menyapu sekitar ruangan. Sepertinya ini lobi.
Lobi yang besar sekali.
Di seberang sana terdapat pintu keluar. Aku segera menunjuknya.

"Kita akan segera keluar dari sini. Tapi pertama.. Kita harus mencari tahu cara menghentikan monster itu." Ayah masih tetap pada pendiriannya.

Aku mengangguk setuju. Aku harus menyelamatkan Hana dan ibu. juga orang-orang yang telah diculik mata itu.

Aku dan ayah memutuskan untuk keluar ke arah pintu kaca itu. Ayah terlihat sedang memikirkan sesuatu.

Banyak yang ingin ku tanyakan pada ayah. Itu karena ia terlihat sangat misterius dan menyimpan banyak hal.

"Ngomong-ngomong, bukankah mata itu berwarna merah? Maksudku, apa mata itu tidak mengeluarkan laser seperti di film-film??" Aku bertanya pada ayah.

"Hah.. Kau terlalu banyak nonton film." Ayah menepuk dahi.

Pintu ini juga tidak terkunci rupanya. Aku membuka dan berjalan keluar. Aku memastikan tak ada siapa-siapa di sana. Di sisi kanan terlihat aman.. Tapi tidak saat ku menoleh ke sisi kiri.

Badanku terpaku saat aku melihat  mata itu. Ia menatapku dari kejauhan.

"Kenapa?.." Kata-kata ayah terhenti.

Ayah langsung menyambar tanganku dan berlari kembali ke dalam ruangan. Entah apa yang dipikirkannya. Kami akan pergi ke mana??

Deru langkah sepatu kami terdengar keras di setiap sudut ini. Disusul suara gelindingan yang tak kalah keras.

Ya ampun! Aku bahkan belum sempat pulang ke rumah dan berganti baju!

Ayah tidak perlu mencari jalan lagi. Langsung saja ayah mengambil langkah menuju tangga manual untuk ke lantai atas. Ia memang telah memperhatikan ruangan ini dan berpikir sebelum kami keluar tadi.

Ah, IQ ayah berapa sih? Aku heran. Kenapa aku tidak pintar-pintar amat seperti ayah..
Aku bersungut-sungut.

Ayah terus berlari menaiki tangga sambil tetap memegang tanganku. Aku panik saat tengah berlari karena mata itu mulai menggunakan ekornya untuk memanjati tangga. Ekor-ekor itu menusuk dinding kiri dan kanan lalu melompati anak tangga.

Entah bagaimana ekor itu sepertinya terbentuk dari pembuluh di bagian belakang mata itu.

Perlahan namun pasti, ia mendekati kami.

Ayah menggenggam tanganku erat-erat sambil menatap serius ke depan.
Tangannya hangat. Seakan ada sihir yang membuatku merasa lebih tenang.

Lalu ayah memutuskan untuk berhenti di salah satu lantai.
Di atas pintu lantai itu tertulis angka 9.

Aku tidak tahu kami sudah jauh menaiki tangga. Aku belum terlalu letih. Biasanya menggunakan tangga manual, lantai 4 saja tenagaku sudah habis terkuras. Pil dari ayah memang hebat.

Ayah segera membuka pintu kaca itu dan kami segera berlari masuk. Mata itu belum sampai di sini. masih ada waktu!

Ayah melirik sekitar dengan cepat. Dan kembali menyambar tanganku.

Kami berlari menuju sebuah ruangan yang terbuat dari besi di salah satu pojok ruangan itu. Aku dan ayah melewati seorang office boy yang tengah mengepel lantai sambil mengenakan headphone. Entah musik apa yang ia putar. Aku tidak bisa menilai apakah ia ikut terhipnotis oleh mata itu atau tidak. Itu karena ia menari seolah tidak ada seorangpun di ruangan itu. Namun naas, tarian indahnya terhenti saat ia tersantuk patung kuda perunggu di atas rak. Seketika office boy itu pingsan dan terbujur di lantai beserta pel dan headphonenya.

Aku sekilas memperhatikannya dan tertawa. Itu konyol sekali!
Andai saja aku membawa kamera, aku akan merekam kejadian barusan!

Tiba-tiba Aku mendengar suara gaduh dari luar ruangan saat kami tiba di depan pintu besi itu. kami bergegas masuk. ayah mengunci pintu itu segera setelah menutup kembali pintu itu.

Aku menghembuskan napas panjang. Dan mencoba mendengarkan dengan seksama apa yang terjadi di luar sana.

Gelap gulita di ruangan kecil ini perlahan tergantikan oleh cahaya dari sebuah jendela. ukuran jendela itu sekitar 2 x 1,5 m. Langsung mengarah ke luar gedung.

Aku bisa melihat ayah sekarang. Kami berhadapan sambil berjongkok. Sorot matanya terus memperhatikan apa yang terjadi di balik pintu. Intuisi nya sangat tajam.

Keadaan terasa sunyi beberapa saat. Kemudian kami mendengar suara kaca pecah dari arah pintu masuk. Disusul suara gelindingan yang terdengar menuju pusat ruangan.

Mata itu telah sampai di sini.

Red EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang